Suku Asmat.

Suku Asmat di Papua.

Untuk mengetahui informasi tentang Indonesia khususnya salah satu suku yang ada di Indonesia, berikut Kami turunkan sebuah tulisan tentang suku Asmat.
Suku Asmat adalah salah satu suku dari 315 suku asli/pribumi Tanah Papua yang hidup di dua wilayah, yakni (a)wilayah pesisir pantai selatan Papua atau di tepi sungai, kehidupan keseharian mereka suka mencari ikan, meramu (menokok sagu) dan berburu serta (b) di wilayah pedalaman yaitu masyarakat asmat yang hidup di daerah rawa-rawa dan sungai serta danau, mereka suka mencari ikan, nelayan, meramu(menokok sagu) dan namun tidak bercocok tanam. Barangkali karena tinggal di dua wilayah yang berbeda sehingga mereka memiliki perbedaan dialek bahasa, cara hidup, strata sosial dan pesta ritual.



Terlepas dari dua perbedaan di atas, suku Asmat sendiri sebenarnya terdiri dari dua belas sub suku, yakni: Joirat, Emari Ducur, Bismam, Becembub, Simai, Kenekap, Unir Siran, Unir Epmak, Safan, Armatak, Brasm dan Yupmakcain. Pembagian sub suku ini terjadi dalam lingkungan masyarakat Asmat sendiri akibat tempat tinggal, kiat menyikapi lingungan serta persebaran masing-masing kelompok masyarakat dalam suku Asmat.

Sedangkan kata Asmat itu sendiri bermakna manusia kayu atau pohon. Versi kedua mengenai makna kayu adalah masyarakat Asmat meyakini bahwa yang pertama kali muncul di permukaan bumi adalah pohon-pohonan. Pohon-pohon itu adalah ucu (beringin) dan pas (kayu besi), yang diyakini sebagai perwujudan dua mama tua yaitu Ucukamaraot (roh beringin) dan Paskomaraot (roh kayu besi). Barang kali keyakinan mistis inilah yang memberikan kesan bahwa ukiran atau pahatan kayu yang dibuat orang Asmat itu sangat ‘berjiwa’.

Kondisi Geografis Asmat dan data Geografi Kabupaten Asmat
Wilayah yang mereka diami sangan unik. Dataran coklat lembek yang tertutup oleh jaring laba-laba sungai. Di bagian utara, kaki Pegunungan Jayawijaya atau kabupaten Puncak Jaya dan Nduga Jaya, Bagian timur kabupaten Mappi dan Merauke bagian selajatan Lautan Arafura serta bagian barat dengan Kabupaten Mimika.
Wilayah yang didiami oleh Suku Asmat ini telah menjadi Kabupaten sendiri dengan nama KABUPATEN Asmat dengan 7 kecamatan atau Distrik. 

Hampir semua wilayahnya berada di tanah berawa. Hampir setiap hari hujan turun dengan curah 3.000-4.000 milimeter per tahun. Setiap hari juga pasang surut laut masuk ke wilayah ini, sehingga tidak mengherankan kalau permukaan tanah sangat lembek dan berlumpur. Jalan hanya dibuat dari papan kayu yang ditumpuk di atas tanah lembek. Praktis tidak semua kendaraan bermotor bisa melalui jalan ini. Orang yang berjalan harus berhati-hati agar tidak terpeleset, terutama saat hujan.

Transportasi
Alat tranpotasi yang digunakn untuk menjangkau daerah ini(Asmat) baik masuk keluar Asmat ataupun atara kecamatan/distrik di Asmat adalah dengan menggunangan alat transportasi transportasi air melalui sungai, yaitu perahu, longboat, dan speedboat. Tiket kapal perintis tujuan Merauke-Agats Rp 50.000-Rp 100.000. Perjalanan ditempuh dua hari dua malam jika cuaca normal. Bila cuaca buruk, perjalanan bisa sekitar lima hari. Kapal perintis tak hanya berlabuh di Agats, tapi di Distrik Atsy, Sawa Erma, dan Pantai Kasuari yang berbatasan dengan Laut Arafuru.

Transportasi udara sangat mahal dan terbatas. Hanya Distrik Agats dan Pantai Kasuari yang terjangkau transportasi udara. Agats mempunyai lapangan terbang dengan landasan 600 x 20 meter menggunakan permukaan landasan tikar baja. Bandara Ewer ini bisa didarati pesawat twin otter Merpati dan Mimika Air dengan rute Jayapura, Timika, Agats. Sedangkan bandara di Pantai Kasuari permukaan landasannya tanah pasir dan batu dan hanya didarati pesawat Merpati rute Merauke-Pantai Kasuari. Intensitas penerbangan menuju Agats dan Pantai Kasuari seminggu dua sampai tiga kali. Namun, ongkos perjalanan sekitar Rp 800.000 dirasa sangat mahal bagi masyarakat setempat.

Makanan Pokok
Makanan pokok orang Asmat adalah sagu. Hampir setiap hari mereka makan sagu yang dibuat jadi bulatan-bulatan dan dibakar dalam bara api. Kegemaran lain adalah makan ulat sagu yang hidup di batang pohon sagu. Biasanya ulat sagu dibungkus daun nipah, ditaburi sagu, dan dibakar dalam bara api. Selain itu, sayuran dan ikan bakar dijadikan pelengkap
Namun demikian yang memprihatinkan adalah masalah sumber air bersih. Air tanah sulit didapat karena wilayat mereka merupakan tanah berawa. Terpaksa menggunakan air hujan dan air rawa sebagai air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

Rumah Tradisional
Rumah tradisional Asmat adalah jeu dengan panjang sampai 25 meter. Sampai sekarang masih bisa dijumpai rumah tradisional ini jika kita berkunjung ke Asmat pedalaman. Bahkan masih ada juga di antara mereka yang membangun rumah tinggal di atas pohon.

Agama
Masyarakat suku Asmat beragama Katolik, Protestan dan Animisme yakni suatu ajaran dan praktek keseimbangan alam dan penyembahan kepada roh orang mati atau patung.
Bagi suku Asmat, ulat sagu merupakan bagian penting dalam ritual mereka. Setiap ritual ini diadakan, dapat dipastikan kalau banyak sekali ulat yang dipergunakan(Kal Muller, Mengenal Papua, 2008, hal 31).

Sumber Daya Alam
Selain ikan, cucut, kepiting, udang, teripang, dan cumi-cumi ikan penyu dan hewan air lainnya yang merinpah ruah, daerah Asmat juga memiliki sumber daya alam yang aman luar biasa seperti: Kayu, rotan, gaharu, kemiri, kulit masohi, kulit lawang, damar, dan kemenyan.

Wanita dalam Pandangan suku Asmat
Simbolisasi perempuan dengan flora dan fauna yang berharga bagi masyarakat Asmat (pohon/kayu, kuskus, anjing, burung kakatua dan nuri, serta bakung) seperti arti kata Asmat di atas, menunjukkan bagaimana sesungguhnya masyarakat Asmat menempatkan perempuan sebagai makhluk yang sangat berharga bagi mereka. Hal ini tersirat juga dalamberbagai seni ukiran dan pahatan mereka. Namun dalam gegap gempitanya serta kemasyuran pahatan dan ukiran Asmat, tersembunyi suatu realita derita para ibu dan gadis Asmat yang tak terdengar oleh dunia luar.

Derita perempuan Asmat adalah menjadi pelakon tunggal, dalam menghidupi suku tersebut. Setiap harinya mereka harus menyediakan makanan untuk suami dan anak-anaknya, mulai dari mencari ikan, udang, kepiting dan tambelo sampai kepada mencari pohon sagu yang tua, menebang pohon sagu, menokok, membawa sagu dari hutan memasak dan menyajikan. Setelah itu mencuci tempat makanan atau tempat masak termasuk mengambil air dari telaga atau sungai yang jernih untuk keperluan minum keluarga.

Sementara itu kegiatan laki-laki Asmat sehari-harinya adalah menikmati makanan yang disediakan istrinya, mengisap tembakau, dan berjudi. Kadang suami membuat rumah atau perahu, namun dengan bantuan istri. Ada pula suami yang mau menemani istri mencari kayu bakar. Sayangnya mereka benar-benar hanya menemani. Mendayung perahu, menebang kayu, dan membawanya pulang adalah tugas istri. Suami yang cukup berbaik hati akan membantu membawakan kapak istrinya.

Jika istri tidak menyiapkan permintaan suaminya seperti sagu atau ikan, maka istri akan menjadi korban luapan kemarahan. Jika mereka kalah judi, maka istri pula yang akan dijadikan obyek kekesalan. Mereka yang tinggal di Agats, kini terbiasa pula untuk mabuk karena minuman keras telah dijual bebas. Saat mereka mabuk, mereka lebih rentan untuk mengamuk sehingga istri pun akan lebih banyak menerima tindak kekerasan.

Kamoro Woman
Kadangkala laki-laki Asmat mengukir jika mereka ingin atau jika hendak menyelenggarakan pesta. Ketika laki-laki mengukir, maka tugas perempuan akan semakin bertambah. Perempuan harus terus menyediakan sagu bakar dan makanan lain yang diinginkan suami mereka agar dapat terus bertenaga untuk mengukir. Semakin lama laki-laki mengukir, semakin banyak pula jumlah makanan yang harus mereka sediakan. Hal itu berarti akan semakin lelah perempuan Asmat karena harus memangur, meramah, dan mengolah sagu, dan bahkan menjaring ikan. 

Lebih tragisnya lagi, jika ukiran itu dijual maka uangnya hanya untuk suami yang membuatnya. Perempuan Asmat tidak menerima imbalan apapun untuk jerih payahnya menyediakan makanan. Padahal tanpa makanan itu, satu ukiran pun tidak akan selesai dibuat(Dewi Linggasari, 2004, Yang Perkasa Yang Tertindas. Potret Hidup Perempuan Asmat. Yogyakarta : Bigraf Publishing, bekerja sama dengan Yayasan Adhikarya IKAPI dan The Ford Foundation. Hal. 22).

Lebih lengkap simak http://deateytomawin.wordpress.com

Next Post Previous Post
7 Comments
  • bunggsu
    bunggsu 11 November 2011 pukul 14.27

    kasihan kepada sang istri ya sob,mesti repot harus menyediakan makanan untuk suami dan anak-anaknya, belum lagi harus melayani sang suami di malam hari nantinya,

  • Indonesia Ku
    Indonesia Ku 11 November 2011 pukul 15.20

    @bunggsu
    tapi ga semua suku di Indonesia seperti itu, memperlakukan istrinya..trimakasih komentnya..

  • Baju Korea
    Baju Korea 11 November 2011 pukul 18.34

    apa boleh jadi seorang istri harus berkorban demi suaminya,,tapi ada catatan jga berkorban demi kebaikan

  • Indonesia Ku
    Indonesia Ku 11 November 2011 pukul 18.59

    @Baju Korea
    Kalo menurut saya sih..suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban...kalo itu dijalankan saya kira akan menjadi keluarga yang harmonis...(ah sok tahu saya ini..hahaha..)

  • BlogS of Hariyanto
    BlogS of Hariyanto 13 November 2011 pukul 19.12

    suku Asmat saudara sebangsa Indonesia, dan kekayaan budaya-nya bahagian dari warisan budaya leluhur bangsa yang patut dijaga dan dilestarikan,
    sebagai salah satu anak bangsa, pemerintah berkewajiban memperhatikan dan membangun kawasan Suku Asmat agar tidak ketinggalan jauh dari peradaban yang sarat dengan perkembangan pendikan dan ilmu pengetahuan,
    sehingga etika saling hormat menghormati dan menjaga hak kewajiban suami istri bisa terlaksana sebagaimana yang semestinya :)

  • Indonesia Ku
    Indonesia Ku 14 November 2011 pukul 02.45

    @BlogS of Hariyanto
    Aku setuju gan...

  • Asis Sugianto
    Asis Sugianto 15 November 2011 pukul 07.39

    kalau gak salah suku asmat ini berada di pedalam papua yach sobat???

Add Comment
comment url