Gunung Tambora.
Tambora 1815, Mengguncang Peradaban Manusia
Kebanyakan dari kita lebih mengenal Gunung Krakatau dengan sejarah letusan kolosalnya, padahal jika dibandingkan dengan sejarah Gunung Tambora (2.850 m dpl), energi letusan yang dikeluarkan sebanyak 4 kali lebih besar dari Gunung Krakatau. Kehebatan dampak letusannya kepada Manusia dan lingkungan, Dunia barat bahkan menjulukinya sebagai Pompeii dari Timur dan digolongkan sebagai Gunung Berapi yang mempunyai kekuatan ledakan super (Supervulcano) yang artinya proses letusan gunung berapi ini memuntahkan isi perutnya lebih dari 1.000 kubik kilometer atau 240 mil kubik.
Gunung Tambora yang saat itu berbentuk stratovulcano, gunung yang berbentuk runcing pada ujungnya sebagaimana penggambaran awam kita tentang sebuah gunung. Meletus pada tahun 1815 dengan kekuatan peringkat ke tujuh menurut Volcanic Explosivity Index, dan termasuk sebagai ukuran letusan gunung berapi terbesar sepanjang sejarah.
Penggambaran kehebatan letusan Tambora 1815 bahwa suara ledakannya terdengar hingga di Pulau Sumatera (lebih dari 2.000 km jauhnya). Abu Vulkanik yang keluar dari gunung diamati juga jatuh di Kalimantan, Jawa, Maluku dan Sulawesi. Korban yang tewas setidaknya terhitung sekitar 71.000 jiwa (mungkin catatan yang paling mematikan dalam sejarah letusan), yang langsung tewas karena letusan terhitung berkisar 11.000 - 12.000 jiwa, dan selebihnya tewas karena dampak lanjutan dari letusan gunung mulai dari wabah penyakit, kelaparan karena kegagalan panen dan dampak perubahan iklim global yang disebabkan oleh letusan gunung Tambora.
Letusan yang Bersejarah
Sebelum mengalami letusan puncak gunung Tambora mencapai 4.300 m dpl, ketinggian ini berarti gunung tersebut menempati daftar gunung tertinggi di Indonesia pada masanya. Beberapa abad sebelum letusan, gunung Tambora mengalami masa dormansi atau disebut sebagai masa istirahat. Penggambaran dormansi sesungguhnya adalah seperti biji tanaman sebelum muncul tunas, sebelum mencapai waktu dan tempat yang optimal situasi biji tanaman tersebut melakukan istirahat sementara, tentu saja tidak bisa dikatakan sebagai biji yang mati, meskipun cukup lama tidak bertunas.
Memulai tingkat aktifitasnya dari tahun 1812, kaldera mulai bergemuruh dan menyebabkan awan hitam. Pada 5 April 1815, sebuah letusan ukuran sedang mulai terjadi, dan diikuti oleh gemuruh suara ledakan sehingga terdengar sampai di Makasar, Sulawesi (jarak 380 kilometer), Jakarta dan beberapa bagian di Jawa lainnya, dan pada paginya tanggal 6 April abu vulkanik yang dikeluarkan mulai jatuh di Jawa Timur, suara ledakan beruntun terjadi hingga 10 April (11 April) semakin keras sehingga terdengar sampai di Sumatera dan Kalimantan.
Dari serangkaian letusan yang terjadi dalam waktu beberapa hari, meledakkan dan memotong gunung dengan lebar hampir satu mil. Kolom vulkanik yang keluar dari perut bumi terbang ke angkasa sejauh 40 km dan kembali ke tanah membuat aliran abu besar piroklastik, batu apung dan puing-puing. Aliran piroklastik sudah berdampak menewaskan orang-orang di jalan-jalan, dan melakukan perjalanan sejauh 1.300 km. Ketika aliran ini mencapai laut, menciptakan sebuah perpindahan yang sangat besar sehingga menyebabkan tsunami setinggi 5 meter yang memancar keluar dari pulau. Dan Tsunami ini juga menyebabkan dampak banjir, kehancuran dan kematian pada pulau-pulau lainnya di Indonesia.
Tahun tanpa Musim Panas dan Fenomena Pendinginan Global
Tahun 1816 mengalami sebuah kondisi cuaca sangat ekstrim dan terjadi perubahan iklim global anomali, sehingga mendapat julukan sebagai Tahun tanpa musim panas. Pada musim semi dan musim panas yang terjadi di tahun yang sama, kabut kering terlihat di timur laut Amerika Selatan sehingga membuat redup matahari, sebagai gambaran saat itu mata telanjang pun sanggup menatap langsung ke arah matahari pada siang hari. Rata-rata suhu global turun beberapa derajat dari yang semestinya. Perubahan iklim global pada 1816 tercatat juga sebagai dekade terdingin kedua di belahan bumi utara sejak 1400 Masehi.
Letusan yang Bersejarah
Sebelum mengalami letusan puncak gunung Tambora mencapai 4.300 m dpl, ketinggian ini berarti gunung tersebut menempati daftar gunung tertinggi di Indonesia pada masanya. Beberapa abad sebelum letusan, gunung Tambora mengalami masa dormansi atau disebut sebagai masa istirahat. Penggambaran dormansi sesungguhnya adalah seperti biji tanaman sebelum muncul tunas, sebelum mencapai waktu dan tempat yang optimal situasi biji tanaman tersebut melakukan istirahat sementara, tentu saja tidak bisa dikatakan sebagai biji yang mati, meskipun cukup lama tidak bertunas.
Memulai tingkat aktifitasnya dari tahun 1812, kaldera mulai bergemuruh dan menyebabkan awan hitam. Pada 5 April 1815, sebuah letusan ukuran sedang mulai terjadi, dan diikuti oleh gemuruh suara ledakan sehingga terdengar sampai di Makasar, Sulawesi (jarak 380 kilometer), Jakarta dan beberapa bagian di Jawa lainnya, dan pada paginya tanggal 6 April abu vulkanik yang dikeluarkan mulai jatuh di Jawa Timur, suara ledakan beruntun terjadi hingga 10 April (11 April) semakin keras sehingga terdengar sampai di Sumatera dan Kalimantan.
Dari serangkaian letusan yang terjadi dalam waktu beberapa hari, meledakkan dan memotong gunung dengan lebar hampir satu mil. Kolom vulkanik yang keluar dari perut bumi terbang ke angkasa sejauh 40 km dan kembali ke tanah membuat aliran abu besar piroklastik, batu apung dan puing-puing. Aliran piroklastik sudah berdampak menewaskan orang-orang di jalan-jalan, dan melakukan perjalanan sejauh 1.300 km. Ketika aliran ini mencapai laut, menciptakan sebuah perpindahan yang sangat besar sehingga menyebabkan tsunami setinggi 5 meter yang memancar keluar dari pulau. Dan Tsunami ini juga menyebabkan dampak banjir, kehancuran dan kematian pada pulau-pulau lainnya di Indonesia.
Tabel Perbandingan Dampak Letusan Gunung Berapi Dunia
Letusan | Tahun | Tinggi Kolom (km) | VEI | anomaly Musim Panas (°C) | Kematian |
---|---|---|---|---|---|
Mount Vesuvius | 79 | 30 | 5 | ? | >2000 |
Taupo | 186 | 51 | 7 | ? | |
Baekdu | 969 | 25 | 6–7 | ? | ? |
Kuwae | 1452 | ? | 6 | ?0.5 | ? |
Huaynaputina | 1600 | 46 | 6 | ?0.8 | ?1400 |
Tambora | 1815 | 43 | 7 | ?0.5 | > 71,000 |
Krakatau | 1883 | 25 | 6 | ?0.3 | 36,600 |
SantamarÃa | 1902 | 34 | 6 | no anomaly | 7,000–13,000 |
Katmai | 1912 | 32 | 6 | ?0.4 | 2 |
Mt. St. Helens | 1980 | 19 | 5 | no anomaly | 57 |
El Chichón | 1982 | 32 | 4–5 | ? | > 2,000 |
Nevado del Ruiz | 1985 | 27 | 3 | no anomaly | 23,000 |
Pinatubo | 1991 | 34 | 6 | ?0.5 | 1202 |
Sumber: Wikipedia |
Tahun tanpa Musim Panas dan Fenomena Pendinginan Global
Tahun 1816 mengalami sebuah kondisi cuaca sangat ekstrim dan terjadi perubahan iklim global anomali, sehingga mendapat julukan sebagai Tahun tanpa musim panas. Pada musim semi dan musim panas yang terjadi di tahun yang sama, kabut kering terlihat di timur laut Amerika Selatan sehingga membuat redup matahari, sebagai gambaran saat itu mata telanjang pun sanggup menatap langsung ke arah matahari pada siang hari. Rata-rata suhu global turun beberapa derajat dari yang semestinya. Perubahan iklim global pada 1816 tercatat juga sebagai dekade terdingin kedua di belahan bumi utara sejak 1400 Masehi.
Pola iklim anomali ini juga dituding sebagai penyebab epidemi tifus di bagian tenggara eropa, banyak ternak mati di New England selama musim dingin 1816-1817. Suhu terlalu dingin juga menyebabkan kegagalan panen sehingga menyebabkan menipisnya bahan makanan. Kelaparan terjadi merata di bagian barat daya dan utara Irlandia dikarenakan kegagalan panen gandum, dan kentang. Krisis ini juga terjadi sangat parah di Jerman, harga bahan pokok pangan melambung sangat tingg, karena banyak yang tidak paham dengan masalah terjadi demo dimana-mana diikuti dengan kerusuhan dan penjarahan di pasar dan toko-toko. Ini adalah gambaran kelaparan terburuk yang terjadi pada kurun abad ke 19 di belahan bumi.
Tahun 1816 juga dikenal sebagai tahun Kemiskinan, karena terjadi perubahan suhu bumi khususnya di belahan utara bumi. Cuaca terganggu di segala penjuru, terlihat di belahan Eropa Barat, Amerika Serikat dan Asia. Epidemi Kolera dan Tipus juga terjadi mewabah menjangkiti masyarakat. Di tempat-tempat seperti New England dan Kanada, embun beku tercatat pada setiap bulan di tahun yang sama serta salju turun pada bulan Juni.
Fenomena ini juga di kenal sebagai Pendinginan Global.
Mengapa ini bisa terjadi?, 200 ton juta Sulfur dioksida ditembakkan oleh Gunung Tambora ke Stratosfer. dan cukup berdampak langsung untuk mencegah sinar matahari mencapai permukaan bumi, sehingga menghasilkan penurunan suhu secara keseluruhan. Proses ini secara langsung atau tidak langsung akan mematikan tanaman serta makhluk lain sebagai ujung akhirnya. Lanjutannya adalah kegagalan panen sehingga menyebabkan kelaparan massal serta terjadi peningkatan angka kematian yang cukup tinggi.
Peradaban dan Kebudayaan yang hilang
Hujan abu selama dua hari tiga malam disusul bunyi meriam yang rupanya menandai keruntuhan kawah, disusul lagi hujan pasir dan emboh laut (gelombang pasang,pen). Sebabnya disangka akibat tindakan jahat Sultan Tambora Abdul Gafur. Kerajaan Pekat dan Tambora binasa. Malapetaka itu berakhir berkat orang bersembahyang, tetapi kemelaratan, kelaparan, dan penyakit tidak tertolong. Banyak orang mati karena makan daun ubi beracun. Orang mati bergelatakan di jalan, tidak dikubur, tidak disembahyangkan, mayatnya menjadi mangsa burung, babi, dan anjing. Andai tidak datang pedagang dari luar, penduduk habis mati kelaparan: pedagang itu datang dari pulau – pulau sekitar dan dari Maluku, bahkan orang Arab, Cina, dan Belanda. Mereka membawa beras, gula, susu, jagung, dan kacang kedelai yang ditukarnya dengan piring mangkok, kain tenunan, senjata, barang mas dan perak, sereh, gambir, dan budak.
Begitulah keadaannya ketika Gunung Tambora meletus tahun 1815 dalam naskah Bo’Sangaji Kai, yang disunting oleh Chambert-Loir, dalam buku Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah.
Selengkapnya simak khatulistiwa.info
Mengapa ini bisa terjadi?, 200 ton juta Sulfur dioksida ditembakkan oleh Gunung Tambora ke Stratosfer. dan cukup berdampak langsung untuk mencegah sinar matahari mencapai permukaan bumi, sehingga menghasilkan penurunan suhu secara keseluruhan. Proses ini secara langsung atau tidak langsung akan mematikan tanaman serta makhluk lain sebagai ujung akhirnya. Lanjutannya adalah kegagalan panen sehingga menyebabkan kelaparan massal serta terjadi peningkatan angka kematian yang cukup tinggi.
Peradaban dan Kebudayaan yang hilang
Hujan abu selama dua hari tiga malam disusul bunyi meriam yang rupanya menandai keruntuhan kawah, disusul lagi hujan pasir dan emboh laut (gelombang pasang,pen). Sebabnya disangka akibat tindakan jahat Sultan Tambora Abdul Gafur. Kerajaan Pekat dan Tambora binasa. Malapetaka itu berakhir berkat orang bersembahyang, tetapi kemelaratan, kelaparan, dan penyakit tidak tertolong. Banyak orang mati karena makan daun ubi beracun. Orang mati bergelatakan di jalan, tidak dikubur, tidak disembahyangkan, mayatnya menjadi mangsa burung, babi, dan anjing. Andai tidak datang pedagang dari luar, penduduk habis mati kelaparan: pedagang itu datang dari pulau – pulau sekitar dan dari Maluku, bahkan orang Arab, Cina, dan Belanda. Mereka membawa beras, gula, susu, jagung, dan kacang kedelai yang ditukarnya dengan piring mangkok, kain tenunan, senjata, barang mas dan perak, sereh, gambir, dan budak.
Begitulah keadaannya ketika Gunung Tambora meletus tahun 1815 dalam naskah Bo’Sangaji Kai, yang disunting oleh Chambert-Loir, dalam buku Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah.
Selengkapnya simak khatulistiwa.info