Rebana Biang.

Rebana Biang

Disebut Rebana Biang karena mempunyai ukuran besar diameter sampai +90 cm. Ada juga yang menyebutnya Rebana Gede. Dibeberapa tempat ada yang menyebutnya Rebana Salun, Gembyung dan Terbang Selamat.

Serbeda dengan rebana-rebana lainnya seperti Ketimpring dan sebagainya, Rebana Biang tidak memakai "kerincingan", cara pemasangan kulitnya yang biasa disebut "wangkis" juga berbeda. Rebana Biang berpasak seperti dogdog Reog Sunda atau Tifa di Maluku, sedangkan rebana lainnya pemasangan kulitnya dengan paku. Berdasarkan pemasangan "wangkisnya" yang polinesis (curt Sachs, 1912: 134 -136), diperkirakan bahwa Rebana Biang termasuk alat bunyi-bunyian yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu sebelum masuknya Agama Islam di Indonesia.

Orkes rebana lainnya terdiri dari beberapa buah rebana yang bentuk maupun ukurannya seragam, masing-masing tidak memiliki nama khusus sehingga seluruhnya cukup disebut rebana saja.

Bentuk rebana biang memang sarna, hanya ukurannya berbeda-beda dan masing-masing mempunyai sebutan yang berbeda pula, yang kecil berukuran kurang lebih 20 cm, dinamai ketog, gendung beru kuran kurang lebih 30 cm. Kotek berukuran kurang lebih 50 cm, dan Siang berukuran 70 sampai 90 cm. Cara memukulnyapun berlainan. Pada Rebana yang lain karena ukurannya relatif kecil, ringan, mudah di penggang dengan sebelah tangan, memungkinkan para pemainnya untuk duduk bersila dengan baik. Tetapi pada Rebana Biang karena ukurannya relatif besar cukup sulit juga untuk duduk bersila yang baik, sehingga telapak kaki dan lutut biasanya dipergunakan untuk menyangga rebana, yang kadang-kadang digunakan pula untuk mengatur suara dengan "tengkepan".

Apabila cara membawakan rebana lainnya tampak lebih khidmat, syair-syairnya yang berbahasa Arab diucapkan dengan tajwid dan makhraj yang benar, maka pengucapan kata-kata Arab dalam lagu-Iagu yang dibawakan orkes Rebana Biang biasanya diucapkan dengan lidah atau dialek setempat.

Judul lagu-lagu yang biasa dibawakan Rebana Biang antara lain "Robunasalun", "Allohuah", "Alpasah", "Dulsayidina" dan sebagainya. Ada pula lagu-lagu yang bernama "Sanggrai Kacang" atau "Sanggar", "Anak ayam" dan sebagainya.

Rebana Biang terdapat di beberapa tempat seperti di Ciganjur, Cijantung, Cakung, Ciseeng, Parung, Pondok Rajeg, Bojong Gede, Citayam, sedang Rebana Biang di Condet, Lubang Buaya, Sugu Tamu, Pondok Cina, Bintaro dan Curug dekat Depok ternyata sudah sirna.

Pada umumnya grup-grup Rebana Biang yang lebih dekat ke kota Jakarta, sepeti rebana Biang Ciganjur, lebih banyak memiliki perbendaharaan lagu-Iagu "dikir" berbahasa Arab atau lagu-lagu yang liriknya dalam bahasa  Betawi, atau bahasa Sunda, yang bagi senimannya sendiri kurang di fahami artinya.

Grup Rebana Siang yang berada di daerah pinggiran dari Pondok Rajeg, Cakung, Ciseeng dan Parung dalam pergelaran ada juga yang menambahkan alat-alat musik lainnya, seperti terompet, rebab, tehyan, bahkan biola. Penambahan itu dilakukan untuk menggantikan lagu-Iagu "dzikir"

Disamping untuk mengiringi nyanyian atau "dzikir", Rebana Siang biasa pula digunakan untuk mengiringi tarian yang disebut Blenggo, lengkapnya disebut "Blenggo Rebana". Teater yang biasa di iringi orkes Rebana Biang adalah Blantek.

Seperti rebana-rebana lainnya, rebana Biang biasanya untuk memeriahkan berbagai perayaan, seperti khitanan, pernikahan dan sebagainya, termasuk pula perayaan umum seperti hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Pada umumnya seniman Rebana Biang adalah petani atau pedagang kecil. Tidak ada yang secara khusus menjadikan kegiatan Rebana Biang sebagai pokok mata peneahariannya.

Sumber jakarta.go.id
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url