Burung Langka.
Aneka Burung Langka Yang Ada di Pulau Sulawesi
Pulau Sulawesi atau dikenal juga dengan nama Celebes Island memiliki aneka ragam satwa langka yang jarang atau bahkan tidak bisa dijumpai di tempat lain, terutama yang populasi endemiknya berada di Pulau Sulawesi, alias satwa itu habitat kehidupannya hanya ada di Pulau Sulawesi, tidak ada ditempat lain. Di antaranya adalah aneka burung langka yang statusnya bahkan sudah ada yang terancam punah, yang sebagian besar populasi habitatnya hanya bisa ditemukan di Pulau Sulawesi.
1. BURUNG MALEO
Burung Maleo atau Maleo Senkawor (Macrocephalon Maleo) adalah termasuk satwa burung langka yang dilindungi pemerintah Indonesia, yang populasi endemiknya hanya ditemukan di hutan tropis pulau Sulawesi, terutama di Sulawesi Tengah, lebih khusus lagi sekitar Kabupaten Banggai dan Kabupaten Sigi.
Berdasarkan dari tingginya tingkat susutnya habitat hutan yang terus berlanjut, tingkat kematian anak burung yang tinggi, populasi yang terus menyusut serta daerah dimana burung ini ditemukan sangat terbatas, Burung Maleo dikategorikan sebagai terancam punah di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan dalam CITES Appendice I.
Maleo adalah monogami spesies, dan makanan utamanya adalah aneka biji-bijian, buah, semut, kumbang serta berbagai jenis hewan kecil.
Ciri-ciri burung Maleo adalah : berukuran sedang, panjang sekitar 55 cm. Bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah berwarna merah-muda keputihan. Di atas kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam. Ciri Maleo Jantan dan betina serupa. Biasanya betina berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung jantan.
Yang unik dari burung Maleo adalah, ukuran telurnya yang besar sekitar 11 cm (8 kali lebih besar dari ukuran telur ayam), dan memiliki berat 240gram hingga 270gram perbutir. Anak burung Maleo sudah bisa terbang saat baru menetas dari telurnya. Burung Maleo berkembang biak dengan cara mengeram telut-telurnya dalam timbunan pasir, umumnya sering ditemui di sepanjang pesisir pantai Tanjung Matop, Tolitoli, Sulawesi Tengah.
2. BURUNG GAGAK BANGGAI
Gagak Banggai (Corvus Unicolor) atau Banggai Crow adalah burung endemik Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah yang sangat langka dan termasuk dalam daftar 18 burung paling langka di Indonesia dengan status Critically Endangered (kritis), bahkan pernah dianggap sudah punah. Populasi habitatnya adalah hutan dengan ketinggian hingga 900 meter dari permukaan laut (dpl)
Burung ini diketahui dari dua spesimen yang ditemukan antara tahun 1884-1885 dari salah satu pulau di kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah. Setelah penemuan itu Gagak Banggai tidak pernah lagi dijumpai hingga pada tahun 2008 seorang ornitologis (ahli burung) Indonesia yang bernama Muhammad Indrawan berhasil memotret dan mendapatkan foto dua spesies Gagak Banggai di pulau Peleng, pulau dengan luas 2.340km2 , salah satu pulau di kepulauan Banggai. Populasinya diperkirakan hanya berkisar antara 30-200 ekor.
Ciri-cirinya adalah ukuran panjang tubuh sekitar 39 cm dan bulunya yang hitam. Iris mata berwarna lebih gelap dibandingkan gagak hutan, ekornya juga lebih pendek dibandingkan ekor gagak hutan. Suaranya tinggi dengan nada yang lebih cepat bila dibandingkan suara gagak hutan.
3. BURUNG KAKAKTUA KECIL JAMBUL KUNING
Burung Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua Sulphurea) adalah burung yang tersebar di Sulawesi, berukuran sedang dari marga cacatua, dengan ukuran panjang sekitar 35cm.
Ciri-cirinya adalah hampir semua bulunya berwarna putih, dan terdapat jambul berwarna kuning yang dapat ditegakkan di kepalanya. Paruhnya berwarna hitam, kulit di sekitar matanya berwarna kebiruan dan kakinya berwarna abu-abu. Bulu-bulu untuk terbang dan ekornya juga berwarna kuning. Ciri burung kakaktua betina serupa dengan burung jantan. Bersarang dan bertelur di lubang-lubang pohon hutan primer atau sekunder, dengan jumlah telur dua sampai tiga butir.
Selain di Sulawesi , burung ini juga ditemukan di di kepulauan Sunda Kecil, Bali, Timor Barat dan Negara Timor Leste, dimana terdapat hutan-hutan primer dan sekunder.
Makanan utamanya adalah biji-bijian, kacang dan aneka buah-buahan.
4. BURUNG KACAMATA SANGIHE
Burung Kacamata Sangihe (Zosterops nehrkorni) atau Sangihe White Eye adalah satwa burung langka endemik Pulau Sangihe – Sulawesi Utara, yang dikategorikan terancam punah oleh IUCN Redlist dengan status konservasi ‘ktitis’ (Critically Endangered), yaitu status tingkat keterancaman kepunahan tertinggi, karena diperkirakan jumlah populasi burung ini kurang dari 50 ekor burung dewasa. Burung ini merupakan salah satu jenis dari sekitar 22an jenis burung kacamata (pleci) yang terdapat di Indonesia.
Ciri-cirinya berukuran kecil sekitar 12 cm. Berwarna hijau zaitun pada bagian atas tubuh, dengan tunggir warna kuninghijau mencolok. Paruh dan kaki berwarna jingga kepucatan.Ekor berwarna hijauhitam gelap. Dahi berwarna hitam. lingkar mata berwarna putih agak lebar. Pipi, tenggorokan dan penutup ekor bawah berwarna kuning cerah. bagian bawah lainnya berwarna putihmutiara dengan sisi tubuh abuabu. Burung ini memiliki suara siulan tipis dam halus dengan nada irama yang cepat.
Makanan utama adalah serangga dan aneka buah.
5. BURUNG MADU SANGIHE
Burung Madu Sangihe (Aethopyga Duyvenbodei) atau Sanghir Sunbird (Elegant Sunbird). merupakan satwa burung langka endemik Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Burung ini termasuk satu diantara burung langka Indonesia yang berstatus endangered (terancam punah), dan karena persebarannya yang terbatas di Kepulauan Sangihe dan beberapa pulau sekitarnya, burung pemakan madu ini pernah dianggap sebagai burung paling langka di kawasan Wallacea (Indonesia bagian tengah).
Karena populasi yang semakin menurun jumlahnya dan daerah sebaran burung ini yang terbatas dan jumlah populasinya yang semakin menurun, maka IUCN Redlist menetapkan Burung Madu Sangihe (Elegant Sunbird) dalam status konservasi endangered (terancam punah). Oleh Pemerintah Indonesia, burung ini juga termasuk dalam burung yang dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999.
Ciri-cirinya berukuran kecil sekitar 12 cm. Burung jantan memiliki bulu bagian kepala atas berwarna hijau metalik dan biru, sekitar telinga berwarna ungu kebiruan sedangkan bagian punggung berwarna kekuningan, dan tunggir dan tenggorokan kuning. Burung betina bagian atasnya berwarna zaitun kekuningan, sedangkan bagian tunggir, tenggorokan, dan bagian bawah berwarna kuning. Paruhnya relatif panjang dan melengkung. Ukurannya yang kecil dan gerakannya gesit sehingga terkadang sulit diamati. Burung ini sering kali di dapati sendiri atau hidup berpasangan. Terkadang juga dalam kelompok-kelompok kecil. Suara burung ini belum terdiskripsikan dengan pasti tapi cenderung tinggi.
Makanan utamanya adalah madu, namun selain madu burung ini juga makan serangga dan laba-laba.
6. BURUNG ELANG BONDOL
Burung Elang Bondol (Haliastur Indus), populasi habitatnya selain di Sulawesi, juga tersebar di seluruh Indonesia, kecuali di Jawa dan Bali jarang ditemui. Populasi habitatnya sekitar pantai dan kepulauan di daerah tropis. Juga masih dapat ditemukan di lahan basah dan hutan dataran rendah sampai ketinggian 2000 m di pedalaman yang jauh dari pantai.
Ciri-cirinya berukuran sedang (45 cm), berwarna putih dan coklat pirang. Burung dewasa: kepala, leher, dan dada putih; sayap, punggung, ekor, dan perut coklat terang, kontras dengan bulu utama yang hitam. Burung Remaja, tubuh kecoklatan dengan coretan pada dada. Warna berubah menjadi putih keabu-abuan pada tahun kedua, dan mencapai bulu dewasa sepenuhnya pada tahun ketiga.
Makanan utamanya bervariasi, diantaranya memakan kepiting, udang, dan ikan, memangsa burung, anak ayam, serangga, dan mamalia kecil.
Berkembang biak dengan cara bertelur 2-4 butir, dan dierami selama 28-35 hari dengan membuat sarang dari susunan patahan batang, ranting, rumput, daun dan sampah, di atas bangunan atau cabang pohon yang tersembunyi dengan ketinggian 6-50 meter dari permukaan tanah. Bila bersarang di hutan mangrove, ketinggian sarang hanya sekitar 2-8 meter.
Anak burung Elang Bondol mulai belajar terbang dan meninggalkan sarang sekitar umur 40-56 hari dan menjadi dewasa hidup mandiri dua bulan kemudian.
7. BURUNG RANGKONG JULANG SULAWESI
Burung Rangkong tergabung dalam marga Bucerotidae, dalam bahasa Inggris disebut Horbbill, di Indonesia dikenal juga sebagai Julang, Enggang, dan Kangkareng. Burung Rangkong atau Enggang , tergolong jenis burung di lindungi oleh Peraturan Pemerintah RI (PP No 7 Tahun 1999).
Burung ini terdiri dari 57 spesies yang tersebar di Benua Asia dan Benua Afrika, 14 jenis di antaranya terdapat di Negara Indonesia, dan 3 jenis adalah termasuk Burung endemik Indonesia, alias hanya hidup di habitatnya di Indonesia.
Dari ketiga jenis burung Rangkong endemic Indonesia tersebut, dua jenis merupakan Rangkong endemic Sulawesi, yaitu
(pertama ) Rangkong Sulawesi atau Julang Sulawesi Ekor Hitam (Rhyticeros Cassidix), biasa juga disebut Rangkong Buton, Burung Taon atau Burung Allo.
(kedua) Julang Sulawesi Ekor Putih atau Kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus)
Ciri-cirinya Burung Rangkong adalah , memiliki ciri khas berupa paruh yang sangat besar menyerupai tanduk, makanya disebut marga “Bucerotidae” (bahasa Yunani) yang artinya adalah “Tanduk Sapi”. Dimensi ukuran tubuh Rangkong Indonesia sekitar 40 – 150 cm, dengan rberat mencapai 3.6 Kilogram. Warna bulu Rangkong umumnya didominasi oleh warna hitam (bagian badan) dan putih pada bagian ekor. Sedangkan warna bagian leher dan kepala cukup bervariasi, kemudian suara dari kepakan sayap dan suara “calling”, seperti yang dipunyai Rangkong Gading (Buceros vigil) dengan “calling” seperti orang tertawa terbahak-bahak dan dapat terdengar hingga radius 3 Km.
Makanan utamanya adalah buah-buahan dan binatang kecil seperti kadal, kelelawar, tikus, ular serta berbagai jenis serangga.
Penyebaran Burung Rangkong tmulai dari daerah sub-sahara Afrika, India, Asia Tenggara, New Guinea dan Kepulauan Solomon Sebagian besar hidup di hutan hujan tropis. Rangkong banyak ditemukan di daerah hutan dataran rendah dan perbukitan (0 – 1000 m dari permukaan laut)
8.BURUNG TAKTARA IBLIS
Burung Taktarau Iblis, wow seram banget namanya. Memang burung ini kesannya misterius, mungkin karena sangat sulit dijumpai, karena burung ini suka hidup berisitrahat di sela-selat lumut dan daun paku yang lebat, sehingga sulit ditemukan, meskipun pada siang hari.Bahkan burung ini juga aktif mencari makan pada malam hari dan memiliki kemampuan menyamarkan diri dengan lingkungan sekitarnya. Burung ini termasuk endemik Sulawesi, alias hanya bisa ditemukan di habitatnya di Sulawesi dan berada dalam daftar hewan yang terancam punah dengan status rentan (vulnerable)oleh IUCN Red List of Threatened Species.
Masyarakat lokal lembah Napu di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah menyebut burung ini Toroku yang berarti Pencabut Mata. Sedangkan dalam bahasa Inggris namanya adalah Eared Nightjar, Heinrich’s Nightjar dan Satanic Eared Nightjar (atau Setan Malam Bertelinga), ngeri tuch. Dan nama latinnya adalah Eurostopodos Diabolicus, yang kalau di Indonesiakan artinya adalah Kejam.,
Burung ini pertama kali diketahui secara ilmiah pada tahun 1931 di kaki Gunung Klabat, daerah Semenanjung Minahasa Sulawesi Utara. Kemudian setelah sekian puluh tahun tidak dijumpai, ditemukan lagi pada tahun 1993 dan kemudian 1996 di Sulawesi Tengah, tepatnya di kawasan Taman Nasional Lore Lindu,dan kembali terlihat di Minahasa tahun 2000. terakhir teridentifikasi di Tinombala tahun 2002.
Ciri-ciri burung ini adalah, ukurannya kurang lebih 27cm, tampilan gelap, dengan pita tenggorokan merah karat pucat. Tanda bintik putih yang tidak menyolok terdapat pad bulu primer ke empat (dihitung dari sayap luar). Ekornya tidak ada warna putihnya.
Spesies burung yang mirip dengan Burung Taktarau Iblis adalah Burung Taktarau Tutul (Eurostopodus argus/Spotted Nightjar) di Nusa Tenggara Timur, Taktarau Besar (Eurostopodus macrotis/Great Eared Nightjar) di Sub kawasan Sulawesi dan kep. Sula, Cabak Kelabu (Caprimulgus indicus/Grey Nightjar yang ada di Halmahera Maluku Utara, Cabak Maling (Caprimulgus macrurus/Large-Tailed Nightjar) di Maluku, Nusa Tenggara hingga pulau-pulau di laut Flores, Cabak Sulawesi (Caprimulgus celebensis/Sulawesi Nightjar) ada di sulawesi dan kep. Sula, Cabak Kota (Savana Nightjar/Caprimulgus affinis) yang ada di wilayah Sulawesi kecuali bagian utara, Nusa Tenggara.
Makanannya adalah serangga, diperoleh dengan cara menyerang secara mendadak dari tanah atau dari tempat-tempat ketinggian yang tersembunyi, atau sebaliknya dengan sabar menanti sambil menunggu waktu yang tepat sambil terbang ringan melayang melewati kawasan hutan dan lahan terbuka, cermat mengawasi calon korban yang lengah.
Burung Taktarau Iblis, wow seram banget namanya. Memang burung ini kesannya misterius, mungkin karena sangat sulit dijumpai, karena burung ini suka hidup berisitrahat di sela-selat lumut dan daun paku yang lebat, sehingga sulit ditemukan, meskipun pada siang hari.Bahkan burung ini juga aktif mencari makan pada malam hari dan memiliki kemampuan menyamarkan diri dengan lingkungan sekitarnya. Burung ini termasuk endemik Sulawesi, alias hanya bisa ditemukan di habitatnya di Sulawesi dan berada dalam daftar hewan yang terancam punah dengan status rentan (vulnerable)oleh IUCN Red List of Threatened Species.
Masyarakat lokal lembah Napu di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah menyebut burung ini Toroku yang berarti Pencabut Mata. Sedangkan dalam bahasa Inggris namanya adalah Eared Nightjar, Heinrich’s Nightjar dan Satanic Eared Nightjar (atau Setan Malam Bertelinga), ngeri tuch. Dan nama latinnya adalah Eurostopodos Diabolicus, yang kalau di Indonesiakan artinya adalah Kejam.,
Burung ini pertama kali diketahui secara ilmiah pada tahun 1931 di kaki Gunung Klabat, daerah Semenanjung Minahasa Sulawesi Utara. Kemudian setelah sekian puluh tahun tidak dijumpai, ditemukan lagi pada tahun 1993 dan kemudian 1996 di Sulawesi Tengah, tepatnya di kawasan Taman Nasional Lore Lindu,dan kembali terlihat di Minahasa tahun 2000. terakhir teridentifikasi di Tinombala tahun 2002.
Ciri-ciri burung ini adalah, ukurannya kurang lebih 27cm, tampilan gelap, dengan pita tenggorokan merah karat pucat. Tanda bintik putih yang tidak menyolok terdapat pad bulu primer ke empat (dihitung dari sayap luar). Ekornya tidak ada warna putihnya.
Spesies burung yang mirip dengan Burung Taktarau Iblis adalah Burung Taktarau Tutul (Eurostopodus argus/Spotted Nightjar) di Nusa Tenggara Timur, Taktarau Besar (Eurostopodus macrotis/Great Eared Nightjar) di Sub kawasan Sulawesi dan kep. Sula, Cabak Kelabu (Caprimulgus indicus/Grey Nightjar yang ada di Halmahera Maluku Utara, Cabak Maling (Caprimulgus macrurus/Large-Tailed Nightjar) di Maluku, Nusa Tenggara hingga pulau-pulau di laut Flores, Cabak Sulawesi (Caprimulgus celebensis/Sulawesi Nightjar) ada di sulawesi dan kep. Sula, Cabak Kota (Savana Nightjar/Caprimulgus affinis) yang ada di wilayah Sulawesi kecuali bagian utara, Nusa Tenggara.
Makanannya adalah serangga, diperoleh dengan cara menyerang secara mendadak dari tanah atau dari tempat-tempat ketinggian yang tersembunyi, atau sebaliknya dengan sabar menanti sambil menunggu waktu yang tepat sambil terbang ringan melayang melewati kawasan hutan dan lahan terbuka, cermat mengawasi calon korban yang lengah.
9. BURUNG JALAK TUNGGIR MERAH
Burung jalak Tunggir Merah (Scissirostrum dubium ) juga dikenal sebagai Myna Grosbeak, Grosbeak Starling, atau Scissor-billed Starling, adalah spesies jalak dalam keluarga Sturnidae. Ini adalah monotypic dalam Scissirostrum genus. Burung ini populasi habitat aslinya adalah endemik Pulau Sulawesi, Indonesia.
Habitat alami adalah tropis dataran rendah, dan pegunungan kadang-kadang subtropis, kawasan hutan dan lahan basah berhutan ringan.
Spesies ini bersarang di koloni dengan jumlah yang kadang mencapai ratusan pasang. Sarang batang pohon mati .
Makanannya buah, serangga, dan biji-bijian.
Daerah sebaran burung ini adalah di Sulawesi termasuk Bangka, Lembeh, Butung, Togian Apakah., Peling Apakah, dan. Banggai.
Burung jalak Tunggir Merah (Scissirostrum dubium ) juga dikenal sebagai Myna Grosbeak, Grosbeak Starling, atau Scissor-billed Starling, adalah spesies jalak dalam keluarga Sturnidae. Ini adalah monotypic dalam Scissirostrum genus. Burung ini populasi habitat aslinya adalah endemik Pulau Sulawesi, Indonesia.
Habitat alami adalah tropis dataran rendah, dan pegunungan kadang-kadang subtropis, kawasan hutan dan lahan basah berhutan ringan.
Spesies ini bersarang di koloni dengan jumlah yang kadang mencapai ratusan pasang. Sarang batang pohon mati .
Makanannya buah, serangga, dan biji-bijian.
Daerah sebaran burung ini adalah di Sulawesi termasuk Bangka, Lembeh, Butung, Togian Apakah., Peling Apakah, dan. Banggai.
10. BURUNG KIPASAN SULAWESI
Burung Kipasan Sulawesi (Rhipidura teysmann), adalah spesies burung dalam keluarga Rhipiduridae. Burung ini adalah burung dengan populasi habitatnya endemik Pulau Sulawesi, Indonesia, alias hanya dapat ditemukan di tempat asalnya yang asli yaitu di Pulau Sulawesi.
Burung ini juga biasa disebut dengan nama, The Rusty-bellied Rhipidura teysmanni, Rusty-bellied Fantail, Kipasan Sulawesi Fantail.
Burung Kipasan Sulawesi (Rhipidura teysmann), adalah spesies burung dalam keluarga Rhipiduridae. Burung ini adalah burung dengan populasi habitatnya endemik Pulau Sulawesi, Indonesia, alias hanya dapat ditemukan di tempat asalnya yang asli yaitu di Pulau Sulawesi.
Burung ini juga biasa disebut dengan nama, The Rusty-bellied Rhipidura teysmanni, Rusty-bellied Fantail, Kipasan Sulawesi Fantail.
11. BURUNG CIKARAK SULAWESI
Burung Cikarak Sulawesi (Myza Celebensis) termasuk dalam spesies keluarga burung Meliphagidae. Burung ini populasi habitatnya adalah endemik Sulawesi, alias hanya bisa ditemukan di Pulau Sulawesi. Kata Celebensis, diambil dari kata Celebes, yakni nama Pulau Celebes atau Pulau Sulawesi. Burung ini juga dengan nama Dark-Myza Celebensis atau Dark-Eared Myza.
Burung Cikarak Sulawesi (Myza Celebensis) termasuk dalam spesies keluarga burung Meliphagidae. Burung ini populasi habitatnya adalah endemik Sulawesi, alias hanya bisa ditemukan di Pulau Sulawesi. Kata Celebensis, diambil dari kata Celebes, yakni nama Pulau Celebes atau Pulau Sulawesi. Burung ini juga dengan nama Dark-Myza Celebensis atau Dark-Eared Myza.
12. BURUNG ANISBENTET SANGIHE
Burung Anisbentet Sangihe (Colluricincla sanghirensis), adalah spesies burung dari keluarga Colluricinclidae., dalam Bahasa Inggris burung ini disebut dengan nama Sangihe Shrike-thrush.
Burung ini diketahui merupakan endemik Sulawesi, atau hanya bisa ditemukan di habitat aslinya di Pulau Sulawesi, Indonesia, tepatnya di Kepulauan Sangihe Sulawesi Utara. Dimana habitat populasinya burung ini sudah menurun dalam cakupan dan kualitas populasi semakin kecil dan terus berkurang jumlahnya . Karena situasi populasi yang mengkhawatirkan itu maka burung ini diklasifikasikan sebagai sangat terancam punah.
Ciri-ciri burung ini adalah, ukurannya menengah sekitar 17cm, warna Coklat Olive pada bagian atas, coklat tua pada bagian bahu dan bawah punggung. Pada bagian bawahnya lagi coklat kepucatan, kekaratan pada perut. Kaki hitam. Coklat zaitun pada sekitar kuning tenggorokan. Suaranya keras, nadanya seperti lagu dengan banyak pengulangan dan lembut, bunyinya kedengaran seperti Chweep…chweep..chweep.
Populasinya mungkin akan sangat rendah jumlahnya (mungkin kurang dari 100 burung) mengingat daerah kecil habitat yang tersisa,dan kebanyakan dijumpai di Gunung Sahendaruman dan Gunung Sahengbalira.
Burung Anisbentet Sangihe (Colluricincla sanghirensis), adalah spesies burung dari keluarga Colluricinclidae., dalam Bahasa Inggris burung ini disebut dengan nama Sangihe Shrike-thrush.
Burung ini diketahui merupakan endemik Sulawesi, atau hanya bisa ditemukan di habitat aslinya di Pulau Sulawesi, Indonesia, tepatnya di Kepulauan Sangihe Sulawesi Utara. Dimana habitat populasinya burung ini sudah menurun dalam cakupan dan kualitas populasi semakin kecil dan terus berkurang jumlahnya . Karena situasi populasi yang mengkhawatirkan itu maka burung ini diklasifikasikan sebagai sangat terancam punah.
Ciri-ciri burung ini adalah, ukurannya menengah sekitar 17cm, warna Coklat Olive pada bagian atas, coklat tua pada bagian bahu dan bawah punggung. Pada bagian bawahnya lagi coklat kepucatan, kekaratan pada perut. Kaki hitam. Coklat zaitun pada sekitar kuning tenggorokan. Suaranya keras, nadanya seperti lagu dengan banyak pengulangan dan lembut, bunyinya kedengaran seperti Chweep…chweep..chweep.
Populasinya mungkin akan sangat rendah jumlahnya (mungkin kurang dari 100 burung) mengingat daerah kecil habitat yang tersisa,dan kebanyakan dijumpai di Gunung Sahendaruman dan Gunung Sahengbalira.
terimakasih kawan..sudah berbagi artikel ini dan sudah berkenan memasang link BlogS of Hariyanto...salam sukses selalu, keep happy blogging :)
trimakasih kunjungan dan komentnya...salam....