Pulau Bali.
Sekilas Sejarah Bali.
Untuk memahami keunikan serta keistimewaan Bali memang tidak bisa dilepaskan dengan tapak-tapak sejarah ( Babad Sejarah ) perkembangan Bali dari masa ke masa.
Babad Sejarah Bali menjadi begitu unik dan khas karena didukung oleh sikap warganya yang memberikan perhatian khusus dan rasa hormat yang begitu mendalam terhadap segala sesuatu yang sudah menjadi Warisan peninggalan Nenek Moyang dan para leluhurnya.
Kepercayaan, rasa Hormat dan rasa Terima kasih masyarakat Bali terhadap leluhurnya menjadikan perhatian khusus terhadap peninggalan sejarah begitu tinggi dan istimewa di seluruh daratan Bali.
Begitu banyak peninggalan Babad sejarah tersebut yang di jaga dan dipelihara dengan sebaik – baiknya bahkan tidak sedikit yang diberlakukan sebagai benda keramat atau tempat Suci yang tidak boleh terganggu dan tidak boleh diperlakukan tidak semestinya.
Perjalanan Bali dari Masa ke Masa
Dalam pengungkapan Babad sejarah Bali, harus difahami terlebih dahulu perjalanan Bali dari mulai Zaman Purbakala dan Zaman Pra- Sejarah yang terdiri dari 4 masa ( Lihat Bab. 2.4 tentang 4. Masa dalam Pra-Sejarah Bali ) kemudian berlanjut memasuki periode Babad sejarah Bali yang terdiri dari 5 Masa diantaranya yaitu :
1. Masa Bali Mula
2. Masa Bali Kuna
3. Masa Bali Aga
4. Masa Bali Hindu ( Majapahit )
5. Bali Masa Kini.
Suatu ketika beliau mendapat perintah Ghaib dari Tuhan untuk melakukan pengembaraan ke arah timur pulau Dawa sekarang ( Jawa ) sampai menyebrang ke sebuah daratan yang terletak di sebelah timur pulau Dawa tersebut, beliaupun mendapat perintah untuk mendirikan tempat suci pemujaan dan menetap serta bertempat tinggal di sebelah timur Pulau Dawa tersebut.
“ Dawa “ artinya panjang, karena memang dahulu kala ( pada jaman Purbakala ) pulau Jawa dan Bali menjadi satu daratan yang terbentang luas dan sangat panjang.
Dengan diikuti oleh 800 pengikutnya, beliau mulai bergerak ke arah timur yang masih berupa hutan belantara. Perjalanan beliau hanya sampai di daerah Jembrana sekarang Bali Barat karena pengikut beliau banyak yang tewas dimakan harimau dan ular-ular besar penghuni hutan, konon pada saat itu di seluruh daratan masih terdapat pohon – pohon besar dan hutan yang tidak dapat ditembus mata hari “ Peteng “
Akhirnya beliau memutuskan kembali ke Gunung Raung untuk bersemedi dan mencari pengikut baru.
Dengan semangat dan tekad yang kuat, perjalanan beliau yang kedua sukses mencapai tujuan di kaki Gunung Agung ( Bali Timur ) selanjutnya setibanya di sana beliau bermaksud untuk membangun sebuah peristirahatan.
Namun secara tidak diduga proses pembangunan tempat peristirahatan tersebut bermasalah sangat serius karena terjadi Wabah penyakit mengerikan sejenis penyakit kulit, penyakit seputar perut serta penyakit gila yang berujung pada kematian secara misterius para pengikutnya.
Untuk melanjutkan rencana pembangunan tempat peristirahatan dan guna menyelamatkan para pengikutnya maka “ Sang Resi Markandeya “ dengan kekuatan ghaibnya kembali melakukan semedi tingkat tinggi dan dalam semedinya tersebut “ Sang Resi Markandeya “ mendapat Wangsit dari “ Sang Hyang Widhi Wasa “, bahwa sebelum meneruskan pekerjaan pembuatan tempat peristirahatan tersebut harus dilakukan terlebih dahulu upacara Ritual Sakral berupa penanaman 5 buah benda-benda berharga yang disebut “ Panca Datu “ sebagai symbol dan media penyelamat serta sebagai Pondasi yang di letakan / ditanam di bawah tempat pemujaan di dekat peristirahatannya yang ingin beliau bangun tersebut.
Adapun ke lima ( 5 ) benda berharga tersebut diantaranya adalah berupa lima jenis logam yang dipercayai mampu menolak mara bahaya diantaranya : Emas, Perak, Perunggu, Tembaga dan Besi / Baja.
Selanjutnya tempat pemujaan suci tersebut dinamakan " Sanggar Basuki ".sementara tanah sekitarnya yang ada pada saat itu beliau bagi-bagikan kepada pengikutnya untuk dijadikan Sawah, Tegalan, Rumah, dan tempat suci yang dinamai “ Hulundang Wasukih “ yang sekarang disebut daerah Pure Besakih.
Nama Besakih diambil dari kata "Basuki" atau dalam naskah kuno ditulis sebagai Basukir atau Basukih. Kata Basuki sendiri diambil dari kata Sanskerta "Wasuki" yang berarti " Penyelamat ".
Sementara, dalam mitologi “ Samudramanthana “ disebutkan bahwa Basuki adalah nama naga yang melingkari Gunung Mandara penjaga keselamatan dan kesejahteraan.
Di sinilah beliau mengajarkan agama kepada pengiringnya yang menyebut “ Tuhan “ dengan nama “ Sanghyang Widhi “ melalui penyembahan kepada “ Surya “ ( Surya Sewana ) sebanyak tiga kali dalam sehari, dengan menggunakan alat-alat “ bebali “ yaitu sesajen yang terdiri atas tiga unsur kehidupan berupa “ Air, Api dan Bunga Harum “.
Ajaran agamanya disebut agama “ Bali “, Lambat laun para pengikutnya mulai menyebar ke daerah sekitar, sehingga masyarakat yang berasal dari daerah ini menamainya dengan nama daerah Bali, daerah yang segala sesuatunya mempergunakan “ Bebali “ yang dalam Bahasa Sansekertanya Bebali adalah berarti Sesajian.
Bisa disimpulkan bahwa nama “ Bali “ berasal dari kata “ Bebali “ yang artinya “ Sesajen “.
Sebuah Manuscript dari kitab Ramayana yang disusun 1200 SM menyebutkan bahwa "Ada sebuah tempat di timur Dawa Dwipa yang bernama Vali Dwipa, di mana di sana Tuhan diberikan kesenangan dan Penghormatan oleh penduduknya berupa bebali (sesajen)."
“ Vali Dwipa “ adalah sebutan untuk Pulau “ Vali “ yang kemudian berubah seiring dengan fenomenanya yang berjalan secara alami menjadi Pulau Bali atau pulau sesajen.
Tidak salah memang interpretasi ini melihat orang Bali hingga saat ini memang tidak bisa lepas dari sesajen dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.
Riwayat tambahan :
Pada saat “ Sang Resi Markandya “ bersemedi meminta petunjuk “ Sanghyang Widhi Wasa “ di lereng Gunung Raung sebelum mendirikan Sanggar & tempat peristarahatan “ Besakih “ karena pengikutnya banyak yang terkena Wabah Penyakit Misterius dan Mengerikan yang menyebabkan banyaknya kematian maka beliau mendapat 2 wangsit yang harus di jalankan guna menyelamatkan para pengikutnya, adapun 2 wangsit tersebut diantaranya adalah :
Desa Tenganan Pegringsingan berada di sebuah lembah dan diapit oleh bukit dengan luas wilayah mencapai 917.200 ha. Karena letaknya seperti itu, Desa Tenganan Pegringsingan dibuat berundak atau terasering dengan posisi makin ke selatan makin rendah. Tujuannya tentu saja untuk menghidari kikisan air hujan. Di dalam desa juga dibuat saluran limbah atau utilitas lingkungan yang terencana dengan baik seperti adanya boatan, teba pisan dan paluh menuju sungai.
Pemukian di desa ini berpetak-petak lurus dari utara ke selatan dengan luas pekarangan yang sama yakni 2,342 are. Masing-masing rumah dihuni satu keluarga. Tiap-tiap leret rumah dibelah oleh sebuah jalan tanah yang disebut sebagai sebagai awangan. Awangan ini dibatasi oleh sebuah sekolan air.
Ada tiga awangan di desa ini. Ada awangan barat, awangan tengah dan awangan timur. Awangan tengah dan timur lebih kecil, kira-kira setengah dari lebar awangan di barat. Awangan barat kerap menjadi pusat keramaian tiap kali dilaksanakan upacara keagamaan atau adat.
Struktur pembagian tata ruang desa mengikuti konsep Tapak Dara yakni pertemuan antara arah angin kaja-kelod (utara-selatan) yang merupakan simbol segara-gunung (laut-gunung) dan arah matahari kangin-kauh (timur-barat). Pertemuan kedua arah itu dipersepsikan sebagai perputaran nemu gelang (seperti lingkaran) dengan porosnya berada di tengah-tengah. Orang Tenganan Pegringsingan mengenalnya dengan istilah maulu ke tengah atau berorientasi ke tengah-tengah. Maknanya, mencapai keseimbangan melalui penyatuan bhuwana alit (manusia dan karang paumahan atau pekarangan rumah) dengan bhuwana agung (pekarangan desa).
Perkampungan dikelilingi tembok bak benteng pertahanan. Lawangan atau pintu masuk desa berada di keempat penjuru. Orang Tenganan Pegringsingan menyebut konsep penataan ruang desanya itu sebagai Jaga Satru (berjaga dari serangan musuh).
Penduduk Desa Adat Tenganan Pegringsingan hingga tahun 2005 tercatat 215 kepala keluarga (KK) atau 661 jiwa. Umumnya masih berpendidikan SD dan SMP. Namun, sudah banyak juga warga Tenganan Pegringsingan yang mengenyam pendidikan tinggi dan meraih gelar sarjana.
Aktivitas keseharian warga Tenganan Pegringsingan yakni bertani atau pun menekuni usaha kerajinan. Tenganan Pegringsingan memiliki lahan tegalan yang cukup luas yakni 583,035 ha (sekitar 66,41 persen dari luas desa) serta lahan sawah seluas 255,840 ha (25,73 dari luas desa). Lahan itu ada yang digarap sendiri, tetapi umumnya digarap oleh orang luar dan warga Tenganan Pegringsingan hanya menerima hasilnya.
Usaha kerajinan yang ditekuni orang Tenganan Pegringsingan berkaitan erat dengan keberadaan desa ini sebagai desa wisata. Ada yang menenun dengan produksi unggulan kain geringsing, ada yang membuat atta, membuat lontar serta aneka cenderata untuk wisatawan.
Kerajaan Bedahulu atau Bedulu adalah kerajaan kuno tertua di pulau Bali pada abad ke-8 sampai abad ke-14, yang dapat tercatat oleh penelitian kepurbakalaan, Pra-sejarah dan Sejarah Babad Bali yang memiliki pusat kerajaan di sekitar Pejeng (baca: pèjèng) atau Bedulu, Kabupaten Gianyar, Bali. Diperkirakan kerajaan ini diperintah oleh raja-raja keturunan dinasti Warmadewa. Penguasa terakhir kerajaan Bedulu (Dalem Bedahulu) menentang ekspansi kerajaan Majapahit pada tahun 1343, yang dipimpin oleh Gajah Mada, namun berakhir dengan kekalahan Bedulu. Perlawanan Bedulu kemudian benar-benar padam setelah pemberontakan keturunan terakhirnya (Dalem Makambika) berhasil dikalahkan tahun 1347, setelah itu Gajah Mada menempatkan seorang keturunan brahmana dari Jawa bernama Sri Kresna Kepakisan sebagai raja (Dalem) di pulau Bali. Keturunan dinasti Kepakisan inilah yang di kemudian hari menjadi raja-raja di beberapa kerajaan kecil di Pulau Bali.
1. Sri Wira Dalem Kesari Warmadewa - (882-913)
2. Sri Ugrasena - (915-939)
3. Agni Tabanendra Warmadewa
4. Candrabhaya Singa Warmadewa - (960-975)
5. Janasadhu Warmadewa
6. Sri Wijayamahadewi
7. Dharmodayana Warmadewa (Udayana) - (988-1011)
8. Gunapriya Dharmapatni (bersama Udayana) - (989-1001)
9. Sri Ajnadewi
10. Sri Marakata - (1022-1025)
11. Anak Wungsu - (1049-1077)
12. Sri Maharaja Sri Walaprabu - (1079-1088)
13. Sri Maharaja Sri Sakalendukirana - (1088-1098)
14. Sri Suradhipa - (1115-1119)
15. Sri Jayasakti - (1133-1150)
16. Ragajaya
17. Sri Maharaja Aji Jayapangus - (1178-1181)
18. Arjayadengjayaketana
19. Aji Ekajayalancana
20. Bhatara Guru Sri Adikuntiketana
21. Parameswara
22. Adidewalancana
23. Mahaguru Dharmottungga Warmadewa
24. Walajayakertaningrat (Sri Masula Masuli atau Dalem Buncing?)
25. Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Dalem Bedahulu) - (1332-1343)
26. Dalem Tokawa (1343-1345)
27. Dalem Makambika (1345-1347)
28. Dalem Madura
Sisa peninggalan :
Perlawanan kerajaan Bedulu terhadap Majapahit oleh legenda masyarakat Bali dianggap melambangkan perlawanan penduduk Bali asli (Bali Aga) terhadap serangan Jawa (Wong Majapahit). Beberapa tempat terpencil di Bali masih memelihara adat-istiadat Bali Aga, misalnya di Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli; di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem; serta di desa-desa Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tiga Was, Padangbulia di Kabupaten Buleleng.
Beberapa obyek wisata yang dianggap merupakan peninggalan kerajaan Bedulu, antara lain adalah pura Jero Agung, Samuan Tiga, Goa Gajah, Pura Bukit Sinunggal.
Dikutip dari BLOGPUTRASEKARBALI
Babad sejarah Bali adalah suatu periode pada saat masa Pra-Sejarah penduduk Bali mulai berakhir dan terjadi transisi digantikan oleh di mulainya periode sejarah yang mana pada periode Babad sejarah Bali ini sebuah rangkaian ceritera yang memang benar – benar terjadi dalam Sejarah kehidupan Masyarakat Bali telah memiliki bukti yang kuat akan kisah-kisah yang di riwayatkan tersebut karena pada periode ini leluhur masyarakat Bali telah mengenal Adat istiadat, Budaya, Seni, Bahasa, Tulisan bahkan Agama yang pada masa tersebut disebut aliran Kepercayaan.
Untuk memahami keunikan serta keistimewaan Bali memang tidak bisa dilepaskan dengan tapak-tapak sejarah ( Babad Sejarah ) perkembangan Bali dari masa ke masa.
Babad Sejarah Bali menjadi begitu unik dan khas karena didukung oleh sikap warganya yang memberikan perhatian khusus dan rasa hormat yang begitu mendalam terhadap segala sesuatu yang sudah menjadi Warisan peninggalan Nenek Moyang dan para leluhurnya.
Kepercayaan, rasa Hormat dan rasa Terima kasih masyarakat Bali terhadap leluhurnya menjadikan perhatian khusus terhadap peninggalan sejarah begitu tinggi dan istimewa di seluruh daratan Bali.
Begitu banyak peninggalan Babad sejarah tersebut yang di jaga dan dipelihara dengan sebaik – baiknya bahkan tidak sedikit yang diberlakukan sebagai benda keramat atau tempat Suci yang tidak boleh terganggu dan tidak boleh diperlakukan tidak semestinya.
Perjalanan Bali dari Masa ke Masa
Dalam pengungkapan Babad sejarah Bali, harus difahami terlebih dahulu perjalanan Bali dari mulai Zaman Purbakala dan Zaman Pra- Sejarah yang terdiri dari 4 masa ( Lihat Bab. 2.4 tentang 4. Masa dalam Pra-Sejarah Bali ) kemudian berlanjut memasuki periode Babad sejarah Bali yang terdiri dari 5 Masa diantaranya yaitu :
1. Masa Bali Mula
2. Masa Bali Kuna
3. Masa Bali Aga
4. Masa Bali Hindu ( Majapahit )
5. Bali Masa Kini.
Dengan pembelajaran dan pemahaman terperinci seperti itu tentunya kondisi Geografis, Masyarakat, Agama dan Budaya Bali pada akhirnya dapat diketahui dan di mengerti secara lebih lengkap, utuh dan sempurna.
Bahkan dalam rangka untuk lebih menjiwai dan mendalami lagi sejarah mengenai Bali secara mitologi, juga harus sedikitnya mengerti dan mempelajari beberapa cerita / Legenda rakyat yang memang ada kaitan dengan Babad sejarah dan silsilah sebuah tempat atau peristiwa yang pernah ada di Bali.
Bahkan dalam rangka untuk lebih menjiwai dan mendalami lagi sejarah mengenai Bali secara mitologi, juga harus sedikitnya mengerti dan mempelajari beberapa cerita / Legenda rakyat yang memang ada kaitan dengan Babad sejarah dan silsilah sebuah tempat atau peristiwa yang pernah ada di Bali.
Masa Bali Mula
Berdasarkan kepada Penelitian dan Penemuan serta Legenda yang beredar dalam masyarakat Bali menyangkut asal-usul pemberian nama untuk sebuah pulau sebelah timur Jawa, terdapat bukti – bukti akurat yang sangat populer dan diyakini akan kebenarannya.
Sekelompok Masyarakat yang hidup pada saat itu ( pada saat awal mula penamaan Bali ) disebut – sebut sebagai kelompok sosial yang dinamakan Masyarakat “ Bali Mula “.( leluhur & asal muasal Masyarakat Bali asli yang sudah mulai memiliki Budaya )
Adapun penjelasan mengenai awal mula penamaan Bali tersebut adalah sebagai berikut :
Keberadaan Budaya Masyarakat “ Bali Mula “ ditandai dengan kedatangan salah seorang Pertapa Maha Sakti di “ Gunung Raung “ Jawa Timur yang bernama “ Maha Resi Markandeya “ pada abad ke-7, peristiwa tersebut sungguh telah memberikan Arti dan Pengaruh yang sangat besar dan mendalam bagi kehidupan seluruh Masyarakat Bali selanjutnya.
Sekelompok Masyarakat yang hidup pada saat itu ( pada saat awal mula penamaan Bali ) disebut – sebut sebagai kelompok sosial yang dinamakan Masyarakat “ Bali Mula “.( leluhur & asal muasal Masyarakat Bali asli yang sudah mulai memiliki Budaya )
Adapun penjelasan mengenai awal mula penamaan Bali tersebut adalah sebagai berikut :
Keberadaan Budaya Masyarakat “ Bali Mula “ ditandai dengan kedatangan salah seorang Pertapa Maha Sakti di “ Gunung Raung “ Jawa Timur yang bernama “ Maha Resi Markandeya “ pada abad ke-7, peristiwa tersebut sungguh telah memberikan Arti dan Pengaruh yang sangat besar dan mendalam bagi kehidupan seluruh Masyarakat Bali selanjutnya.
Suatu ketika beliau mendapat perintah Ghaib dari Tuhan untuk melakukan pengembaraan ke arah timur pulau Dawa sekarang ( Jawa ) sampai menyebrang ke sebuah daratan yang terletak di sebelah timur pulau Dawa tersebut, beliaupun mendapat perintah untuk mendirikan tempat suci pemujaan dan menetap serta bertempat tinggal di sebelah timur Pulau Dawa tersebut.
“ Dawa “ artinya panjang, karena memang dahulu kala ( pada jaman Purbakala ) pulau Jawa dan Bali menjadi satu daratan yang terbentang luas dan sangat panjang.
Dengan diikuti oleh 800 pengikutnya, beliau mulai bergerak ke arah timur yang masih berupa hutan belantara. Perjalanan beliau hanya sampai di daerah Jembrana sekarang Bali Barat karena pengikut beliau banyak yang tewas dimakan harimau dan ular-ular besar penghuni hutan, konon pada saat itu di seluruh daratan masih terdapat pohon – pohon besar dan hutan yang tidak dapat ditembus mata hari “ Peteng “
Akhirnya beliau memutuskan kembali ke Gunung Raung untuk bersemedi dan mencari pengikut baru.
Dengan semangat dan tekad yang kuat, perjalanan beliau yang kedua sukses mencapai tujuan di kaki Gunung Agung ( Bali Timur ) selanjutnya setibanya di sana beliau bermaksud untuk membangun sebuah peristirahatan.
Namun secara tidak diduga proses pembangunan tempat peristirahatan tersebut bermasalah sangat serius karena terjadi Wabah penyakit mengerikan sejenis penyakit kulit, penyakit seputar perut serta penyakit gila yang berujung pada kematian secara misterius para pengikutnya.
Untuk melanjutkan rencana pembangunan tempat peristirahatan dan guna menyelamatkan para pengikutnya maka “ Sang Resi Markandeya “ dengan kekuatan ghaibnya kembali melakukan semedi tingkat tinggi dan dalam semedinya tersebut “ Sang Resi Markandeya “ mendapat Wangsit dari “ Sang Hyang Widhi Wasa “, bahwa sebelum meneruskan pekerjaan pembuatan tempat peristirahatan tersebut harus dilakukan terlebih dahulu upacara Ritual Sakral berupa penanaman 5 buah benda-benda berharga yang disebut “ Panca Datu “ sebagai symbol dan media penyelamat serta sebagai Pondasi yang di letakan / ditanam di bawah tempat pemujaan di dekat peristirahatannya yang ingin beliau bangun tersebut.
Adapun ke lima ( 5 ) benda berharga tersebut diantaranya adalah berupa lima jenis logam yang dipercayai mampu menolak mara bahaya diantaranya : Emas, Perak, Perunggu, Tembaga dan Besi / Baja.
Selanjutnya tempat pemujaan suci tersebut dinamakan " Sanggar Basuki ".sementara tanah sekitarnya yang ada pada saat itu beliau bagi-bagikan kepada pengikutnya untuk dijadikan Sawah, Tegalan, Rumah, dan tempat suci yang dinamai “ Hulundang Wasukih “ yang sekarang disebut daerah Pure Besakih.
Nama Besakih diambil dari kata "Basuki" atau dalam naskah kuno ditulis sebagai Basukir atau Basukih. Kata Basuki sendiri diambil dari kata Sanskerta "Wasuki" yang berarti " Penyelamat ".
Sementara, dalam mitologi “ Samudramanthana “ disebutkan bahwa Basuki adalah nama naga yang melingkari Gunung Mandara penjaga keselamatan dan kesejahteraan.
Di sinilah beliau mengajarkan agama kepada pengiringnya yang menyebut “ Tuhan “ dengan nama “ Sanghyang Widhi “ melalui penyembahan kepada “ Surya “ ( Surya Sewana ) sebanyak tiga kali dalam sehari, dengan menggunakan alat-alat “ bebali “ yaitu sesajen yang terdiri atas tiga unsur kehidupan berupa “ Air, Api dan Bunga Harum “.
Ajaran agamanya disebut agama “ Bali “, Lambat laun para pengikutnya mulai menyebar ke daerah sekitar, sehingga masyarakat yang berasal dari daerah ini menamainya dengan nama daerah Bali, daerah yang segala sesuatunya mempergunakan “ Bebali “ yang dalam Bahasa Sansekertanya Bebali adalah berarti Sesajian.
Bisa disimpulkan bahwa nama “ Bali “ berasal dari kata “ Bebali “ yang artinya “ Sesajen “.
Sebuah Manuscript dari kitab Ramayana yang disusun 1200 SM menyebutkan bahwa "Ada sebuah tempat di timur Dawa Dwipa yang bernama Vali Dwipa, di mana di sana Tuhan diberikan kesenangan dan Penghormatan oleh penduduknya berupa bebali (sesajen)."
“ Vali Dwipa “ adalah sebutan untuk Pulau “ Vali “ yang kemudian berubah seiring dengan fenomenanya yang berjalan secara alami menjadi Pulau Bali atau pulau sesajen.
Tidak salah memang interpretasi ini melihat orang Bali hingga saat ini memang tidak bisa lepas dari sesajen dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.
Riwayat tambahan :
Pada saat “ Sang Resi Markandya “ bersemedi meminta petunjuk “ Sanghyang Widhi Wasa “ di lereng Gunung Raung sebelum mendirikan Sanggar & tempat peristarahatan “ Besakih “ karena pengikutnya banyak yang terkena Wabah Penyakit Misterius dan Mengerikan yang menyebabkan banyaknya kematian maka beliau mendapat 2 wangsit yang harus di jalankan guna menyelamatkan para pengikutnya, adapun 2 wangsit tersebut diantaranya adalah :
- Perintah pelaksanaan “ Panca Datu “ yaitu penanaman ( 5 ) benda berharga yang mampu menolak mara bahaya diantaranya : Emas, Perak, Perunggu, Tembaga dan Besi / Baja
- Bahwa berkaitan dengan nama pulau tersebut yaitu “ Vali Dwipa “ yang dipercaya merupakan hadiah / pemberian dari “ Sanghyang Widhi Wasa “ maka di seluruh daratan pulau Bali harus di dirikan tempat pemujaan suci sebanyak – banyaknya dan di segala penjuru yang kemudian dikenal dengan 9 arah mata angin sebagai ucapan terima kasih, rasa hormat dan syukur kepada “ Sanghyang Widhi Wasa “ dan sebagai penjaga / penolak datangnya Mara bahaya, Bencana dan Musibah yang akan menimpa Bali.
Masa Bali Kuna
“ Bali Kuna “ adalah sekelompok Masyarakat penduduk Bali Tua asli yang merupakan keturunan dan generasi penerus dari Masyarakat “ Bali Mula “, Masyarakat “ Bali Kuna “ memang diakui sebagai salah Nenekmoyang / leluhur dari pada masyarakat Bali saat ini.
Oleh karena keberadaannya yang sudah cukup Tua di daratan pulau Bali maka kelompok masyarakat ini di sebut dengan istilah “ Bali Kuna “ ( Kuno ), namun demikian masyarakat “ Bali Kuna “ di katakan sebagai penerus dari masyarakat “ Bali Mula “ karena walaupun dikatakan Kuno tetapi keberadaannya tetap sebagai generasi penerus setelah masa masyarakat “ Bali Mula “ mulai sirna, hal ini disebabkan karena masyarakat “ Bali Kuna “ bukanlah masyarakat yang hidup pada saat awal Bali ditemukan dan mulai memiliki nama ( lihat ceritra “ Sang Resi Markandeya “ ).
Masyarakat “ Bali Kuna “ diyakini hidup ketika Masyarakat Bali sudah memiliki kebudayaan, Adat Istiadat, Seni, Bahasa dan Tulisan Kuno dan Agama, yang disebut agama “ Shiwa “ yang mana pengaruh dan nuansa dari Agama Budha sudah mulai terlihat, agama tersebut lebih dikenal dengan sebutan agama kepercayaan dimana masyarakat pada waktu itu sudah melakukan penyembahan sebagai implementasi akan pengakuan dan keyakinan atas keberadaannya “ Sanghyang Widhi Wase “ melalui media Alam atau langit dengan ritual dan prosesi penyembahan mengikuti ajaran yang diperoleh dari generasi sebelumnya yaitu ritual dan prosesi penyembahan yang sama seperti yang di lakukan oleh Masyarakat “ Bali Mula “ yang di ajarkan oleh “ Sang Resi Markandya “.
Masa “ Bali Kuna “ dapat juga dikatakan masa – masa yang cukup penting dimana Masyarakat Bali pada saat itu mulai mengenal sebuah sistem pemerintahan yang lebih terorganisir yang disebut dengan system pemerintahan Monarki ortodok atau lebih dikenal dengan istilah Kerajaan dan pada masa – masa inipun Masyarakat Bali mulai menorehkan berbagai macam Mitos dan Legenda yang akan terus di kenang sampai saat ini.
Sebuah peninggalan paling penting bagi masyarakat Bali yang berhasil di catat sebagai sejarah Masyarakat Bali adalah adalah dimana pada periode ini sebuah kerajaan pertama di Bali mulai berdiri yang disebut dengan “ Kerajaan Bedahulu “.
Ada beberapa teori popular yang menjelaskan mengenai “ Bali Kuna “ diantaranya adalah :
Bahwa masyarakat dan Budaya “ Bali Kuna “ adalah sebuah kelompok Masyarakat berbudaya yang mulai tercipta setelah “ Bali Mula “ lambat laun mulai sirna, ada pula yang berpendapat bahwa perbedaan antara “ Bali Kuna “ dan “ Bali Aga “ yaitu bahwa “ Bali Kuna “ adalah sebutan untuk sebuah kelompok masyarakat sedangkan “ Bali Aga “ adalah sebuah istilah untuk Kebudayaan, adat istiadat, tatacara dan norma yang berlaku bagi Masyarakat / kelompok “ Bali Kuna “. .
Oleh karena keberadaannya yang sudah cukup Tua di daratan pulau Bali maka kelompok masyarakat ini di sebut dengan istilah “ Bali Kuna “ ( Kuno ), namun demikian masyarakat “ Bali Kuna “ di katakan sebagai penerus dari masyarakat “ Bali Mula “ karena walaupun dikatakan Kuno tetapi keberadaannya tetap sebagai generasi penerus setelah masa masyarakat “ Bali Mula “ mulai sirna, hal ini disebabkan karena masyarakat “ Bali Kuna “ bukanlah masyarakat yang hidup pada saat awal Bali ditemukan dan mulai memiliki nama ( lihat ceritra “ Sang Resi Markandeya “ ).
Masyarakat “ Bali Kuna “ diyakini hidup ketika Masyarakat Bali sudah memiliki kebudayaan, Adat Istiadat, Seni, Bahasa dan Tulisan Kuno dan Agama, yang disebut agama “ Shiwa “ yang mana pengaruh dan nuansa dari Agama Budha sudah mulai terlihat, agama tersebut lebih dikenal dengan sebutan agama kepercayaan dimana masyarakat pada waktu itu sudah melakukan penyembahan sebagai implementasi akan pengakuan dan keyakinan atas keberadaannya “ Sanghyang Widhi Wase “ melalui media Alam atau langit dengan ritual dan prosesi penyembahan mengikuti ajaran yang diperoleh dari generasi sebelumnya yaitu ritual dan prosesi penyembahan yang sama seperti yang di lakukan oleh Masyarakat “ Bali Mula “ yang di ajarkan oleh “ Sang Resi Markandya “.
Masa “ Bali Kuna “ dapat juga dikatakan masa – masa yang cukup penting dimana Masyarakat Bali pada saat itu mulai mengenal sebuah sistem pemerintahan yang lebih terorganisir yang disebut dengan system pemerintahan Monarki ortodok atau lebih dikenal dengan istilah Kerajaan dan pada masa – masa inipun Masyarakat Bali mulai menorehkan berbagai macam Mitos dan Legenda yang akan terus di kenang sampai saat ini.
Sebuah peninggalan paling penting bagi masyarakat Bali yang berhasil di catat sebagai sejarah Masyarakat Bali adalah adalah dimana pada periode ini sebuah kerajaan pertama di Bali mulai berdiri yang disebut dengan “ Kerajaan Bedahulu “.
Ada beberapa teori popular yang menjelaskan mengenai “ Bali Kuna “ diantaranya adalah :
Bahwa masyarakat dan Budaya “ Bali Kuna “ adalah sebuah kelompok Masyarakat berbudaya yang mulai tercipta setelah “ Bali Mula “ lambat laun mulai sirna, ada pula yang berpendapat bahwa perbedaan antara “ Bali Kuna “ dan “ Bali Aga “ yaitu bahwa “ Bali Kuna “ adalah sebutan untuk sebuah kelompok masyarakat sedangkan “ Bali Aga “ adalah sebuah istilah untuk Kebudayaan, adat istiadat, tatacara dan norma yang berlaku bagi Masyarakat / kelompok “ Bali Kuna “. .
Masa Bali Aga
Ketika membincang tentang kebudayaan masyarakat Bali Aga, orang biasanya tak akan lupa menengok sebuah desa kuno di wilayah Kabupaten Karangasem ini. Di antara sejumlah desa-desa Bali Aga yang masih bertahan, Tenganan Pegringsingan memang tergolong masih cukup berhasil menjaga keasliannya. Karenanya, Tenganan Pegringsingan pun kerap menjadi ikon dalam perbincangan mengenai kebudayaan masyarakat Bali Aga.
Orang sudah terlampau mengenal Tenganan Pegringsingan, memang. Terlebih lagi desa ini ditetapkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karangasem sebagai salah satu objek wisata andalan. Karenanya, saban hari wisatawan, baik domestik maupun mancanagera mengunjungi desa ini.
Orang yang hendak mengunjungi desa ini dari Denpasar mesti menempuh perjalanan sekitar 70 kilometer ke arah timur. Tiba di Candi Dasa, Anda belok menuju ke utara sekitar 3 kilometer. Setelah melewati Desa Pesedahan Anda akan melihat papan ucapan selamat datang di Desa Tenganan.
Tenganan Pegringsingan sejatinya satu di antara sejumlah desa pakraman yang masuk dalam wilayah pemerintahan dinas Desa Tenganan. Desa-desa pakraman lainnya yakni Tenganan Dauh Tukad, Gumang, Bukit Kangin dan Bukit Kauh. Desa Pakraman Tenganan Pegringsingan sendiri terdiri dari tiga banjar yakni Banjar Kauh di bagian barat, Banjar Tengah di tengah-tengah serta Banjar Kangin/Pande di bagian timur.
Orang sudah terlampau mengenal Tenganan Pegringsingan, memang. Terlebih lagi desa ini ditetapkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karangasem sebagai salah satu objek wisata andalan. Karenanya, saban hari wisatawan, baik domestik maupun mancanagera mengunjungi desa ini.
Orang yang hendak mengunjungi desa ini dari Denpasar mesti menempuh perjalanan sekitar 70 kilometer ke arah timur. Tiba di Candi Dasa, Anda belok menuju ke utara sekitar 3 kilometer. Setelah melewati Desa Pesedahan Anda akan melihat papan ucapan selamat datang di Desa Tenganan.
Tenganan Pegringsingan sejatinya satu di antara sejumlah desa pakraman yang masuk dalam wilayah pemerintahan dinas Desa Tenganan. Desa-desa pakraman lainnya yakni Tenganan Dauh Tukad, Gumang, Bukit Kangin dan Bukit Kauh. Desa Pakraman Tenganan Pegringsingan sendiri terdiri dari tiga banjar yakni Banjar Kauh di bagian barat, Banjar Tengah di tengah-tengah serta Banjar Kangin/Pande di bagian timur.
Desa Tenganan Pegringsingan berada di sebuah lembah dan diapit oleh bukit dengan luas wilayah mencapai 917.200 ha. Karena letaknya seperti itu, Desa Tenganan Pegringsingan dibuat berundak atau terasering dengan posisi makin ke selatan makin rendah. Tujuannya tentu saja untuk menghidari kikisan air hujan. Di dalam desa juga dibuat saluran limbah atau utilitas lingkungan yang terencana dengan baik seperti adanya boatan, teba pisan dan paluh menuju sungai.
Pemukian di desa ini berpetak-petak lurus dari utara ke selatan dengan luas pekarangan yang sama yakni 2,342 are. Masing-masing rumah dihuni satu keluarga. Tiap-tiap leret rumah dibelah oleh sebuah jalan tanah yang disebut sebagai sebagai awangan. Awangan ini dibatasi oleh sebuah sekolan air.
Ada tiga awangan di desa ini. Ada awangan barat, awangan tengah dan awangan timur. Awangan tengah dan timur lebih kecil, kira-kira setengah dari lebar awangan di barat. Awangan barat kerap menjadi pusat keramaian tiap kali dilaksanakan upacara keagamaan atau adat.
Struktur pembagian tata ruang desa mengikuti konsep Tapak Dara yakni pertemuan antara arah angin kaja-kelod (utara-selatan) yang merupakan simbol segara-gunung (laut-gunung) dan arah matahari kangin-kauh (timur-barat). Pertemuan kedua arah itu dipersepsikan sebagai perputaran nemu gelang (seperti lingkaran) dengan porosnya berada di tengah-tengah. Orang Tenganan Pegringsingan mengenalnya dengan istilah maulu ke tengah atau berorientasi ke tengah-tengah. Maknanya, mencapai keseimbangan melalui penyatuan bhuwana alit (manusia dan karang paumahan atau pekarangan rumah) dengan bhuwana agung (pekarangan desa).
Perkampungan dikelilingi tembok bak benteng pertahanan. Lawangan atau pintu masuk desa berada di keempat penjuru. Orang Tenganan Pegringsingan menyebut konsep penataan ruang desanya itu sebagai Jaga Satru (berjaga dari serangan musuh).
Penduduk Desa Adat Tenganan Pegringsingan hingga tahun 2005 tercatat 215 kepala keluarga (KK) atau 661 jiwa. Umumnya masih berpendidikan SD dan SMP. Namun, sudah banyak juga warga Tenganan Pegringsingan yang mengenyam pendidikan tinggi dan meraih gelar sarjana.
Aktivitas keseharian warga Tenganan Pegringsingan yakni bertani atau pun menekuni usaha kerajinan. Tenganan Pegringsingan memiliki lahan tegalan yang cukup luas yakni 583,035 ha (sekitar 66,41 persen dari luas desa) serta lahan sawah seluas 255,840 ha (25,73 dari luas desa). Lahan itu ada yang digarap sendiri, tetapi umumnya digarap oleh orang luar dan warga Tenganan Pegringsingan hanya menerima hasilnya.
Usaha kerajinan yang ditekuni orang Tenganan Pegringsingan berkaitan erat dengan keberadaan desa ini sebagai desa wisata. Ada yang menenun dengan produksi unggulan kain geringsing, ada yang membuat atta, membuat lontar serta aneka cenderata untuk wisatawan.
Masa Bali Jaman Majapahit
Menurut sejarahnya diantara raja – raja yang memerintah di Bali yang paling terkenal adalah Dinasti Warmadewa. Raja Udayana adalah merupakan dinasti ini dan beliau adalah anak dari Ratu Campa yang diangkat anak oleh Warmadewa.
Setelah dewasa Udayana nikah dengan Putri Jawa yang bernama Gunapriya Dharma Patni, dari perkawinannya ini menurunkan Erlangga dan Anak Wungsu. Akhirnya setelah Erlangga wafat tahun 1041, kerajaanya di Jawa Timur dibagi Dua.
Pendeta Budha yang bernama Empu Baradah dikirim ke Bali agar pulau Bali diberikan kepada salah satu Putra Erlangga, tetapi ditolak oleh Empu Kuturan. Selanjutnya Bali diperintah oleh Raja Anak Wungsu antara tahun 1029 – 1077 dan dibawah perintahnya Bali merupakan daerah yang sangat subur dan tentram.
Setelah beliau meninggal dunia abunya disimpan dalam satu candi di komplek Candi Gunung Kawi. Tulisannya yang terdapat diatas pintu semu yang berbunyi :
Haji Lumah Ing Jalu yang berarti Sang Raja dimakamkan di Jalu sama dengan Susuh dari (ayam jantan) yang bentuknya sama dengan Kris maka perkataan Ing Jalu dapat ditafsirkan sebagai petunjuk Kali Kris atau Pakerisan.
Raja yang dimakamkan di jalu dimaksud adalah Raja Udayana, sedangkan tulisan Rwa Anakira yang berarti Dua Anaknya kemungkinan yang dimaksud makam Raja Udayana, Anak Wungsu dan Empat orang Permaisuri Raja serta Perdana Mentri Raja.
Di seberang Tenggara atau dari komplek candi ini terletak Wihara (tempat tinggal atau asrama para biksu/pendeta Budha). Peninggalan candi dan wihara di Gunung Kawi ini diperkirakan pada abad 11 Masehi. Sementara di Candi Gunung Kawi, setelah menuruni anak tangga sepanjang 400 m, nikmati eksotisnya bangunan candi yang dipahat pada dinding cadas.Ukiran pahatan yang besar ini terlihat menakjubkan ketika diamati dari jarak beberapa meter.
Candi yang dipercaya sebagai tempat menyimpan abu jenazah beberapa raja Bali ini memiliki legenda berkaitan dengan pembuatannya, yaitu dibuat sehari semalam oleh Kebo Iwa dengan menatahkan kuku tangannya yang sakti pada dinding cadas tersebut. Kebo Iwa sendiri adalah tokoh legenda rakyat Bali yang digambarkan sebagai orang bertubuh sangat besar dengan kekuatan dan kesaktiannya yang dipergunakan untuk membela Bali dari serangan musuh.
Zaman Kerajaan Kuno Bali ( Kerajaan Bedahulu / Bedulu )
Setelah dewasa Udayana nikah dengan Putri Jawa yang bernama Gunapriya Dharma Patni, dari perkawinannya ini menurunkan Erlangga dan Anak Wungsu. Akhirnya setelah Erlangga wafat tahun 1041, kerajaanya di Jawa Timur dibagi Dua.
Pendeta Budha yang bernama Empu Baradah dikirim ke Bali agar pulau Bali diberikan kepada salah satu Putra Erlangga, tetapi ditolak oleh Empu Kuturan. Selanjutnya Bali diperintah oleh Raja Anak Wungsu antara tahun 1029 – 1077 dan dibawah perintahnya Bali merupakan daerah yang sangat subur dan tentram.
Setelah beliau meninggal dunia abunya disimpan dalam satu candi di komplek Candi Gunung Kawi. Tulisannya yang terdapat diatas pintu semu yang berbunyi :
Haji Lumah Ing Jalu yang berarti Sang Raja dimakamkan di Jalu sama dengan Susuh dari (ayam jantan) yang bentuknya sama dengan Kris maka perkataan Ing Jalu dapat ditafsirkan sebagai petunjuk Kali Kris atau Pakerisan.
Raja yang dimakamkan di jalu dimaksud adalah Raja Udayana, sedangkan tulisan Rwa Anakira yang berarti Dua Anaknya kemungkinan yang dimaksud makam Raja Udayana, Anak Wungsu dan Empat orang Permaisuri Raja serta Perdana Mentri Raja.
Di seberang Tenggara atau dari komplek candi ini terletak Wihara (tempat tinggal atau asrama para biksu/pendeta Budha). Peninggalan candi dan wihara di Gunung Kawi ini diperkirakan pada abad 11 Masehi. Sementara di Candi Gunung Kawi, setelah menuruni anak tangga sepanjang 400 m, nikmati eksotisnya bangunan candi yang dipahat pada dinding cadas.Ukiran pahatan yang besar ini terlihat menakjubkan ketika diamati dari jarak beberapa meter.
Candi yang dipercaya sebagai tempat menyimpan abu jenazah beberapa raja Bali ini memiliki legenda berkaitan dengan pembuatannya, yaitu dibuat sehari semalam oleh Kebo Iwa dengan menatahkan kuku tangannya yang sakti pada dinding cadas tersebut. Kebo Iwa sendiri adalah tokoh legenda rakyat Bali yang digambarkan sebagai orang bertubuh sangat besar dengan kekuatan dan kesaktiannya yang dipergunakan untuk membela Bali dari serangan musuh.
Zaman Kerajaan Kuno Bali ( Kerajaan Bedahulu / Bedulu )
Kerajaan Bedahulu atau Bedulu adalah kerajaan kuno tertua di pulau Bali pada abad ke-8 sampai abad ke-14, yang dapat tercatat oleh penelitian kepurbakalaan, Pra-sejarah dan Sejarah Babad Bali yang memiliki pusat kerajaan di sekitar Pejeng (baca: pèjèng) atau Bedulu, Kabupaten Gianyar, Bali. Diperkirakan kerajaan ini diperintah oleh raja-raja keturunan dinasti Warmadewa. Penguasa terakhir kerajaan Bedulu (Dalem Bedahulu) menentang ekspansi kerajaan Majapahit pada tahun 1343, yang dipimpin oleh Gajah Mada, namun berakhir dengan kekalahan Bedulu. Perlawanan Bedulu kemudian benar-benar padam setelah pemberontakan keturunan terakhirnya (Dalem Makambika) berhasil dikalahkan tahun 1347, setelah itu Gajah Mada menempatkan seorang keturunan brahmana dari Jawa bernama Sri Kresna Kepakisan sebagai raja (Dalem) di pulau Bali. Keturunan dinasti Kepakisan inilah yang di kemudian hari menjadi raja-raja di beberapa kerajaan kecil di Pulau Bali.
Raja-raja Bedahulu :
1. Sri Wira Dalem Kesari Warmadewa - (882-913)
2. Sri Ugrasena - (915-939)
3. Agni Tabanendra Warmadewa
4. Candrabhaya Singa Warmadewa - (960-975)
5. Janasadhu Warmadewa
6. Sri Wijayamahadewi
7. Dharmodayana Warmadewa (Udayana) - (988-1011)
8. Gunapriya Dharmapatni (bersama Udayana) - (989-1001)
9. Sri Ajnadewi
10. Sri Marakata - (1022-1025)
11. Anak Wungsu - (1049-1077)
12. Sri Maharaja Sri Walaprabu - (1079-1088)
13. Sri Maharaja Sri Sakalendukirana - (1088-1098)
14. Sri Suradhipa - (1115-1119)
15. Sri Jayasakti - (1133-1150)
16. Ragajaya
17. Sri Maharaja Aji Jayapangus - (1178-1181)
18. Arjayadengjayaketana
19. Aji Ekajayalancana
20. Bhatara Guru Sri Adikuntiketana
21. Parameswara
22. Adidewalancana
23. Mahaguru Dharmottungga Warmadewa
24. Walajayakertaningrat (Sri Masula Masuli atau Dalem Buncing?)
25. Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Dalem Bedahulu) - (1332-1343)
26. Dalem Tokawa (1343-1345)
27. Dalem Makambika (1345-1347)
28. Dalem Madura
Sisa peninggalan :
Perlawanan kerajaan Bedulu terhadap Majapahit oleh legenda masyarakat Bali dianggap melambangkan perlawanan penduduk Bali asli (Bali Aga) terhadap serangan Jawa (Wong Majapahit). Beberapa tempat terpencil di Bali masih memelihara adat-istiadat Bali Aga, misalnya di Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli; di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem; serta di desa-desa Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tiga Was, Padangbulia di Kabupaten Buleleng.
Beberapa obyek wisata yang dianggap merupakan peninggalan kerajaan Bedulu, antara lain adalah pura Jero Agung, Samuan Tiga, Goa Gajah, Pura Bukit Sinunggal.
Dikutip dari BLOGPUTRASEKARBALI