Gereja Ganjuran
Gereja Ganjuran, Bertemu Yesus dalam Wajah Jawa
Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran, demikian nama lengkapnya, bisa dijangkau dengan mengendarai kendaraan bermotor sejauh kurang lebih 20 km dari pusat kota Yogyakarta. Pemandang sawah yang hijau dan pohon serupa cemara akan menyambut anda begitu memasuki Desa Ganjuran, tempat gereja ini berdiri. Mengunjungi gereja ini, anda akan mengetahui tentang sejarah gereja dan inkulturasi Katolik dengan budaya Jawa, terakhir mendapatkan ketenangan hati.
Kompleks gereja Ganjuran mulai dibangun pada tahun 1924 atas prakarsa dua bersaudara keturunan Belanda, Joseph Smutzer dan Julius Smutzer. Gereja ini merupakan salah satu bangunan yang didirikan sejak dua bersaudara itu mulai mengelola Pabrik Gula Gondang Lipuro di daerah tersebut pada tahun 1912. Bangunan lain yang didirikan adalah 12 sekolah dan sebuah klinik yang menjadi cikal bakal Rumah Sakit Panti Rapih.
Pembangunan gereja yang dirancang oleh arsitek Belanda J Yh van Oyen ini adalah salah satu bentuk semangat sosial gereja (Rerum Navarum) yang dimiliki Smutzer bersaudara, yaitu semangat mencintai sesama, khususnya kesejahteraan masyarakat setempat yang kebanyakan menjadi karyawan di Pabrik Gula Gondang Lipuro yang mencapai masa keemasan pada tahun 1918 - 1930.
Dalam perkembangannya, kompleks gereja ini disempurnakan dengan pembangunan candi yang dinamai Candi Hati Kudus Yesus pada tahun 1927. Candi dengan teras berhias relief bunga teratai dan patung Kristus dengan pakaian Jawa itu kemudian menjadi pilihan lain tempat melaksanakan misa dan ziarah, selain di dalam gereja, yang menawarkan kedekatan dengan budaya Jawa.
Berjalan keliling gereja, anda akan menyadari bahwa bangunan ini dirancang dengan perpaduan gaya Eropa, Hindu dan Jawa. Gaya Eropa dapat ditemui pada bentuk bangunan berupa salib bila dilihat dari udara, sementara gaya Jawa bisa dilihat pada atap yang berbentuk tajug, bisa digunakan sebagai atap tempat ibadah. Atap itu disokong oleh empat tiang kayu jati, melambangkan empat penulis Injil, yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes.
Nuansa Jawa juga terlihat pada altar, sancristi (tempat menyimpan peralatan misa), doopvont (wadah air untuk baptis) dan chatevummenen (tempat katekis). Patung Yesus dan Bunda Maria yang tengah menggendong putranya juga digambarkan tengah memakai pakaian Jawa. Demikian pula relief-relief pada tiap pemberhentian jalan salib, Yesus digambarkan memiliki rambut mirip seorang pendeta Hindu.
Anda yang ingin berziarah bisa menuju tempat pengambilan air suci yang berada di sebelah kiri candi. Setelah mengambil air suci, anda bisa duduk bersimpuh di depan candi dan memanjatkan doa permohonan. Prosesi ibadah diakhiri dengan masuk ke dalam candi dan memanjatkan doa di depan patung Kristus. Beberapa peziarah sering mengambil air suci dan memasukkannya dalam botol, kemudian membawa pulang air itu setelah didoakan.
Bila ingin mengikuti misa dalam bahasa Jawa dan nyanyian lagu yang diiringi gamelan, anda bisa datang ke gereja ini setiap hari kamis hingga Minggu pukul 5.30, setiap malam Jumat pertama, setiap malam Natal dan setiap Sabtu Sore pukul 17.00. Misa dalam bahasa Jawa itu digelar di pelataran candi, kecuali misa harian setiap pukul 5.30 yang diadakan di dalam gereja.
Usai melaksanakan ibadah atau ziarah, sempatkanlah untuk berbincang dengan warga setempat untuk mengetahui sejarah tentang Ganjuran sendiri, tempat gereja ini berdiri. Dalam Babad tanah Jawa, Ganjuran adalah sebuah wilayah Alas Mentaok yang dinamakan Lipuro. Tempat itu dahulu sempat digunakan Panembahan Senopati untuk bertapa dan direncanakan menjadi pusat kerajaan Mataram, namun batal.
Perubahan nama menjadi Ganjuran sendiri berkaitan dengan kisah percintaan Ki Ageng Mangir dan Rara Pembayun yang diasingkan oleh Mataram. Kisah cinta dua orang tersebut yang kemudian mengilhami penciptaan tembang Kala Ganjur, berarti tali pengikat dasar manusia dalam mengarungi kehidupan bersama dengan dasar cinta. Nah, dari nama tembang tersebutlah desa yang dulu bernama Lipuro itu berubah menjadi Ganjuran.
Jika anda mau berbincang dengan penduduk setempat, akan banyak lagi cerita yang bisa digali, misalnya alasan dibatalkannya Lipuro menjadi pusat kerajaan Mataram, alasan pengasingan Ki Ageng Mangir dan Roro Pembayun dan sebagainya.
Sumber YogYES.COM