Upacara Karo Suku Tengger.

Di Jawa Timur tepatnya di Gunung Bromo Probolingga hidup dan berkembang sebuah adat yang sangat tersohor dan tetap dilestarikan hingga kini yakni upacara Karo; sebuah upacara hari raya terbesar masyarakat Tengger yang konon masih memiliki darah keturunan dengan kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, karena masih memiliki hubungan darah dengan kerajaan Majapahit inilah agama yang dianut oleh hampir keseluruhan masyarakat Tengger ini adalah Hindu Majapahit.
 
Maka dari itu sebagaimana halnya kebudayaan dari Hindu Majapahit pada umumnya, di wilayah Tengger ini pun di percaya sebagai Hila-hila, yang dalam bahasa Tengger berarti tanah yang suci. Masyarakat adat Tengger sendiri paling tidak memiliki 6 ritual adat dalam setahunnya untuk memberikan pemujaan kepada Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati roh leluhur sekaligus meminta berkah dan keselamatan. 
Dan yang terbesar dan tersohor dari keenam upacara adat itu diantaranya adalah Ritual Adat Karo itu sendiri yang akan saya bahas dalam kesempatan kali ini.

Ritual upacara Adat Karo sendiri dipimpin oleh beberapa Ratu yang telah ditunjuk oleh mereka. Kata Ratu sendiri di mata masyarakat Tengger berarti pemimpin dan sama sekali tidak berkonotasi perempuan. 
Jadi Ratu dalam hal ini adalah pemimpin yang bisa saja berkelamin laki-laki. Ritual karo sendiri dibuka dengan pertemuan kedua orang Ratu dalam sebuah tempat yang nantinya akan dipakai sebagai tempat berlangsungnya upacara. 
Pertemuan kedua ratu ini menjadi tanda dimulainya Upacara Sodoran, salah satu bagian dari rangkaian Karo. Perjumpaan tersebut melambangkan bersatunya roh leluhur, cikal bakal manusia, yakni laki-laki dan perempuan.

Sambil bergandengan tangan, kedua ratu memasuki tempat tersebut. Dalam ritual ini yang boleh mengikuti jalannya upacara hanya kaum laki-laki saja dan kaum perempuan sama sekali tidak diperbolehkan mengikutinya. 
Dan setelah semua hadirin dipastikan telah hadir semua maka upacara ini pun dibuka dengan pembacaan mantera yang dilakukan oleh kedua Ratu mereka untuk mensucikan tempat dimana upacara itu berlangsung. 

Setelah itu barulah diadakan upacara memandikan Jimat Kelontongan diiringi dengan tarian sodor. Jimat kelontongan sendiri merupakan sekumpulan benda keramat. Sedangkan tarian sodor adalah sebuah tarian yang dilakukan oleh 4 orang secara bergiliran (dari semula hanya satu penari kemudian secara simultan bertambah hingga kemudian genap menjadi 4 penari dan saling berpasangan satu sama lain) yang melambangkan pertambahan generasi masyarakat Karo dari waktu ke waktu.

Sementara upacara sodoran ini hampir usai di luar kaum ibu-ibu beserta anak mereka pun mulai berdatangan sambil membawa makanan buat suami dan ayah mereka yang sedang melakukan upacara sodoran. 
Mungkin inilah alasan kenapa selama berlangsungnya acara sodoran ini kaum perempuan tidak diperbolehkan ikut, karena mereka harus menyiapkan makanan yang akan disantap oleh suami dan ayah mereka seusai upacara selesai.

Pada sore harinya secara marathon upacara sodoran ini pun dilanjutkan dengan upacara tumpeng gede untuk mengungkapkan perasaan syukur mereka dangan hasil panen yang melimpah dan dianugerahi tanah yang subur. 
Tumpeng-tumpeng ini dikumpulkan dari warga, lalu dimantrakan oleh dukun adat desa setempat. Tumpeng yang sudah dimantrai, dibagi-bagikan kepada warga untuk digunakan dalam ritual selanjutnya, Sesandingan. Ritual Sesandingan inilah yang diyakini masyarakat Tengger sebagai Puncak Karo.

Begitu upacara tumpeng gedhe selesai pada keesokan harinya warga pun menggelar upacara Sesandingan di rumah masing-masing yang bertujuan untuk memberikan makanan atau dedaharan kepada leluhur mereka. 
Yang unik dari upacara ini adalah upacara itu harus dipimpin oleh dukun adat mereka masing-masing yang dalam satu desa atau Hila-hila biasanya hanya terdapat satu dukun adat saja. Bayangkan, ang dukun harus mendatangi rumah warganya satu persatu untuk memimpin upacara tersebut.
 
Maka dari itu tak heran kiranya jika satu dukun dalam masyarakat Tengger dalam upacara ini harus berkeliling mendatangi rumah warganya satu persatu memakan waktu hingga 15 jam nonstop. Padahal tugasnya tidak berhenti pada ritual Sesandingan, tapi berlanjut hingga akhir acara Karo. 
Yang perlu anda tahu, untuk menjadi dukun adat ini seseorang setidaknya harus menghafal sekitar 90 bab mantra, yang berbahasa Jawa Kuno. Mungkin itulah sebabnya, sosok dukun adat yang begitu sentral perannya dalam masyarakat Tengger tak banyak yang mampu melakoninya.

Baru setelah acara puncak sesandingan selesai, pada hari keempat dan kelima masyarakat Tengger berkeliling kampung untuk bersilaturahmi dengan sanak kerabat mereka layaknya hari lebaran pada agama-agama lainnya berikut sowan ke kuburan untuk nyekar kepada makam leluhur dan anggota keluarga mereka yang telah meninggal. 

Berziarah ke makam leluhur atau nyadran, adalah bagian dari ritual Karo yang dilakukan sehari sebelum ritual penutup, yakni hari ke-6. Makam pertama yang didatangi adalah makam kramat Sang Eyang Guru.Masyarakat Tengger percaya, doa dan harapan mereka akan dikabulkan, bila rajin memberikan sesajian kepada Sang Guru.Yang menarik dalam ritual tersebut adalah, saat dukun adat melemparkan uang logam dan ayam yang telah dimanterakan sebelumnya, untuk diperebutkan anak-anak dan remaja.

Dari makam Sang Guru, nyadran kemudian dilanjutkan ke makam keluarga. Ini bukanlah aksi gaya-gayaan warga Tengger. Ini adalah atraksi tarian Ujung-ujungan, yang mengawali rangkaian penutupan upacara Karo pada hari ketujuh. 
Disebut Ujung-ujungan karena para penari yang bertelanjang dada, secara bergantian memukul lawannya, menggunakan ujung rotan. 

Tarian ini sendiri merupakan ungkapan rasa syukur mereka karena telah berhasil dan lancar melaksanakan upacara Karo, oleh karenanya tak ada istilah kalah dan menang dalam kegiatan ini. Semuanya saling pukul dan begitu permainan usai tak ada dendam sama sekali di hati mereka meski badan harus wilur-wilur perih karena pukulan rotan sang lawan.

Kemudian menjelang Magrib, sebagai penanda selesainya rangkaian upacara Karo warga berduyun-duyun mendatangi rumah dukun adat membawa kemenyan untuk dimantrakan oleh sang dukun adat. Kemenyan ini sendiri nantinya akan dipakai oleh keluarga masing-masing dalam upacara memulangkan arwah leluhur. 
Dengan ritual pemulangan roh leluhur atau biasa dikenal dengan istilah Mulehi Ping Pitu tersebut, maka rangkaian upacara Karo pun berakhir sudah.

Selengkapnya simak di Budaya Nusantara.
Next Post Previous Post